WartaDepok.com – Penyelenggaraan Transportasi Publik di wilayah Jabodetabek tetap berjalandengan pembatasan, menyusul keputusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk kembali padapenerapan PSBB transisi mulai Senin 12 Oktober 2020 setelah penerapan kebijakan PSBB ketat
selama sebulan.
Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Kementerian
Perhubungan Polana B. Pramesti menyatakan bahwa pada prinsipnya selama masa pandemi covid-19 baik PSBB ketat ataupun PSBB transisi, sesuai dengan aturan yang berlaku aktifitas masyarakat dibatasi.
“Demikian pula transportasi publik tetap berjalan untuk melayani masyarakat yang masih beraktifitas, namun berlaku pembatasan dan pengendalian baik
menyangkut kapasitas maupun frekwensi, “ jelas Polana melalui keterangan tertulis diterima WartaDepok. com, Selasa (13/10).
Tentang bagaimana pembatasan dan pengendalian dilakukan, Polana menambahkan bahwa Pemerintah Daerah di wilayah Jabodetabek dapat menyusun aturan pelaksana dengan mengacu
pada Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 41 Tahun 2020 tentang Pengendalian
Transportasi Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19.
Pada dasarnya menurut Polana
pembatasan kapasitas dilakukan agar penyelenggaraan transportasi dapat menegakkan protokol kesehatan terutama physical distancing.
Sementara itu pembatasan frekwensi dengan sendiri dilakukan karena demand berkurang selain karena juga untuk mengurangi kemungkinan pergerakan aktifitas yang tidak perlu.
Tingkat pembatasan kapasitas maupun frekwensi menurut Polana dapat menyesuaikan kondisi terakhir dari status penyebaran covid-19 di suatu
wilayah.
“Untuk Jabodetabek mengingat telah menjadi wilayah teraglomerasi, BPTJ selalu
mengupayakan agar kebijakan transportasi yang diputuskan oleh Pemerintah Daerah di
dalamnya dapat sinkron satu sama lain,” kata Polana.
Setelah lebih dari 6 (enam) bulan penyelenggaran transportasi publik pada masa pandemi di wilayah Jabodetabek, ternyata terdapat beberapa kecenderungan positif muncul pada perilaku pengguna angkutan umum massal.
Pembatasan kapasitas demi physical distancing dan konsistensi dalam pelaksanaan protokol kesehatan secara keseluruhan sebenarnya ditujukan
untuk memperkecil semaksimal mungkin resiko penularan dan penyebaran covid-19 melalui angkutan umum.
Namun pada sisi lain ternyata juga menyebabkan perilaku pengguna angkutan
umum massal lebih disiplin dan teratur. Menurut Polana kondisi ini dapat terjadi karena kontribusi semua pihak yang terlibat, baik operator prasarana, sarana maupun masyarakat pengguna angkutan umum sendiri.
“Secara khusus saya perlu menyampaikan apresiasi pada para pengguna angkutan umum atas kesadaran mereka untuk konsisten patuh pada protokol
kesehatan,” kata Polana.
Hal ini menjadi penting karena upaya yang dilakukan oleh Pemerintah maupun operator prasarana dan sarana angkutan umum tidak akan berjalan baik apabila tidak ada kesadaran dari masyarakat. (Wan/Humas BPTJ)