WartaDepok.com – Pradi Supriatna – Afifah Alia kembali unggul dalam hasil survei Pilkada Depok 2020.
Kali ini pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota Depok nomor urut 1 ini, unggul 45 persen untuk tingkat elektabilitas, dalam survei yang dilakukan Lembaga Studi Visi Nusantara (Vinus).
Sedangkan paslon nomor urut 2 Mohammad Idris – Imam Budi Hartono hanya 35 persen, dan sebanyak 20 persen responden tidak tahu tentang tingkat elektabilitas paslon walikota dan wakil walikota.
Lembaga Studi Visi Nusantara merilis hasil survei Kinerja Penyelenggara Pilkada dan Permasalahan Penegakan Hukum Pilkada Depok di 40 titik kelurahan, dengan jumlah 800 responden periode 1-4 Desember 2020.
Metodologi Lembaga Studi yang berpusat di Cibinong ini, menggunakan metode random sampling, dengan margin of error sebesar 3,5 persen.
Masing-masing 20 responden, dengan pembagian 10 orang perempuan, dan 10 orang laki, yang sudah memiliki hak pilih. Dari yang pemula hingga usia rentan, yakni diatas 60 tahun.
Ketua Lembaga Studi Visi Nusantara, Ramdan Nugraha mengatakan Pilkada Depok sangat menarik, karena diikuti dua petahana. Dimana wakil walikota terdahulu menantang walikotanya dalam Pilkada tahun ini.
“Ini menjadi menarik, ketika si wakil berani menantang walikotanya. Namun untuk hasil survei kali ini ternyata wakilnya lebih unggul dibanding walikotanya,” katanya Ramdan dalam jumpa persnya di Jalan Margonda Raya, Sabtu (5/12).
Ramdan melanjutkan, paslon nomor urut 2 lebih besar melakukan pelanggaran pilkada dengan jumlah prsentase sebesar 24 persen.
Sedangkan paslon nomor 1 hanya 17 persen. Sebanyak 59 persen tidak tahu tentang banyaknya pelanggaran Pilkada Depok 2020 oleh kedua paslon.
Pelanggaran protokol kesehatan terus membayangi Pilkada Depok. Ketidakpatuhan paslon dan koalisi parpol dalam menggunakan protokol kesehatan dalam tahapan kampanye, sesungguhnya adalah wajah dari ketidak pedulian terhadap kesehatan masyarakat.
“Jadi tantangan berat bagi penyelenggara dan juga paslon yang berkonstestasi dalam Pilkada Depok 2020,” ujarnya.
Selanjutnya, pengetahuan responden terhadap pelaksanaan pilkada Depok, sebanyak 94 persen mengetahui, dan sebanyak 6 persen tidak mengetahui.
Untuk pelanggaran pilkada paslon, berdasarkan responden sebanyak 32 persen pelanggaran tentang protokol kesehatan, 4 persen pelanggarannya tentang netralitas ASN, 13 persen tentang politik uang, 6 persen tentang kampanye hitam, dan 45 persen tidak mengetahui tentang pelanggarannya.
“Masih adanya stigma di masyarakat bahwa jika melaporkan pelanggaran pemilihan umum akan panjang urusannya.
Maka lebih banyak yang tidak melaporkan pelanggarannya, meski dari Bawaslu sendiri pastinya akan merahasiakan identitas si pelapor,” pungkas Ramdan.(Mia/WD)