Oleh: Fran Fardariko*
WartaDepok.com – Mengangkat pidato kunjungan pertama ke Indonesia Perdana Menteri Sri Datok Anwar Ibrahim: “Setiap kebijakan publik, namakan ekonomi-tidak mesti di putuskan oleh ahli ekonomi.” Begitu juga hukum, tidak semua kebijakan publik harus di kelola oleh para ahli hukum. Terlepas aspek utama dari kebijakan publik adalah hukum. Dalam pengertian umum, hukum mencakup undang-undang khusus dengan ketentuan hukum konstitusional atau internasional yang dapat di definisikan secara lebih luas lagi. Dalam artikel kebijakan publik sekali ini, saya sebagai pemerhati kebijakan publik, ingin mengkaji ulang kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.
Dalam hal ini, ada banyak cara agar hukum dapat mempengaruhi bagaimana penyintas kekerasan terhadap perempuan di perlakukan dan jenis layanan yang mereka terima. Demikian pula, undang-undang mengidentifikasi bidang-bidang di mana dana hibah penelitian dapat didanai dan seringkali menentukan jumlah dana yang dialokasikan. Dengan demikian, tidak mengherankan bahwa perdebatan kebijakan publik terjadi atas undang-undang dan pendanaan yang diusulkan.
Dalam konteks ini, advokasi dapat diartikan sebagai upaya mempengaruhi kebijakan publik melalui pendidikan, lobi, atau tekanan politik. Kelompok advokasi sering mencoba mendidik masyarakat umum serta pembuat kebijakan publik tentang sifat masalah, undang-undang apa yang diperlukan untuk mengatasi masalah, dan pendanaan yang dibutuhkan untuk menyediakan layanan atau melakukan penelitian. Meskipun advokasi dipandang tidak pantas oleh sebagian kalangan profesional dan komunitas riset, jelas bahwa prioritas kebijakan publik dipengaruhi oleh advokasi. Data penelitian yang baik dapat digunakan untuk mendidik masyarakat serta pembuat kebijakan, sehingga meningkatkan proses kebijakan publik. Namun advokasi tidak dapat berdiri sendiri dalam hal ini data penelitian tetap akan menjadi peran utama dalam menentukan arah kebijakan yang berkenaan dengan kekerasan terhadap perempuan. Dalam hal ini bidang sosiology, keagamaan, psikologi dan kesehatan harus di libatkan.
Rumah-rumah konseling sudah seharusmya menjamur di republik ini. Dengan banyaknya keberadaan rumah ibadah, kantor kelurahan, dan kecamatan-sudah sepatutnya ruang ibadah/kantor pelayanan administrasi tersebut, yang notabene adalah ruang publik di bayar dari zakat dan pajak, menyediakan ruangan untuk para perempuan penyintas kekerasan, yang dapat di atur di bawah peraturan daerah.
Memang kalau di lihat, ada beberapa langkah perbandingan dengan negara maju, dalam hal penerapan hukum mengenai perlindungan terhadap perempuan penyintas kekerasan:
Hukum negara bagian dalam hal ini peraturan daerah yang otonom, nasional, dan internasional menyediakan kerangka kerja untuk mengidentifikasi hak asasi manusia dasar dan untuk mendefinisikan pelanggaran hak-hak ini.
Hukum mendefinisikan perilaku yang dilarang oleh undang-undang pidana dan perdata dan memberikan hukuman pidana dan perdata untuk pelanggaran.
Undang-undang menetapkan kriteria kelayakan untuk perlindungan/refuge dalam hal ini perempuan yang semuanya relevan bagi banyak korban kekerasan.
Lalu undang-undang apa yang harus di tetapkan? Undang-undang menetapkan kriteria kelayakan untuk sejumlah layanan termasuk tunjangan fisik/psikologis, kompensasi korban kejahatan, dan kesejahteraan korban.
Undang-undang tersebut berdampak besar pada tingkat pendanaan untuk kesehatan mental dan layanan lain yang diberikan kepada para korban. Pembuat kebijakan publik mengalokasikan dana untuk layanan melalui proses alokasi dan dengan memberlakukan undang-undang yang menetapkan program layanan khusus untuk korban trauma serta kompensasi (termasuk yang di bebani kepada pelaku kejahatan) .
Dan yang terakhir, alokasi pemerintah mengontrol proses dan menyediakan dana untuk penelitian entah itu melalui RAPBN/RAPBD atau dari CSR dan filantropi.
Indonesia sudah layaknya mengarah ke poin-poin tersebut di atas. Ada idiom barat yang mengatakan, “jika semua makhluk manusia di lahirkan dari rahim perempuan kenapa kita harus melukai mereka.” Perlindungan secara terus menerus harus diterapkan oleh pihak regulator dan stakeholder.
Jika perempuan sudah terpenuhi hak perlindungannya maka anak-anak akan jauh lebih aman dan sejahtera. Kunci negara yang makmur dan superpower itu adalah perempuan yang sehat jasmani dan rohani, dengan begitu negara dan populasi SDM nya akan kuat dan mumpuni
*Pengamat Kebijakan Publik, Alumnus Victoria University, Wellington, New Zealand.