WartaDepok. com – Guru Besar Sosial Humaniora Universitas Indonesia merilis dan membedah buku ‘Meretas Batas Ilmu : Perjalanan Intelektual Guru Besar Sosial Humaniora’ di Balai Sidang Kampus UI, Depok beberapa waktu lalu.
“Jadi ini berawal dari hasil pemetaan dari Prof Oca yang menjadi Wakil Rektor Bidang Riset dan Inovasi , melihat publikasi dari UI, kenaikan publikasi kita cukup banyak, tetapi dari Sosial Humaniora jalannya agak lambat, padahal di bidang lain pergerakannya cepat” tutur Dewan Guru Besar UI, Harkristuti Harkirsnowo.
Ternyata, sambung dia, di bidang Sosial Humaniora lebih suka berbicara, tapi beberapa agak sulit untuk menulis. Dari sini, perlu digerakan dari guru besar yang menjadi contoh bagi civitas akademi yang lain memulai.
“Menurut saya, ini suatu ide yang menarik, dalam rapat dengan guru besar, saya melihat ibu Yunita, saya terinspirasi, inilah yang akan menjadi pemicu buku ini,” papar Saat itu, dirinya belum tahu apa yang ingin ditulis. Sebab, begitu banyak disiplin ilmu di UI, bahkan tiap fakultas pun banyak.
Sehingga, perlu ada benang merah yang menyambung semuanya. Kemudian, Yunita T. Winarto memunculkan ide ‘Meretas Batas Ilmu : Perjalanan Intelektual Guru Besar Sosial Humaniora’.
“Dari sana, kemudian kita buka, dan Ibu Yunita menyelenggarakan lokakarya untuk penulisan ini. Sebab, buku ini merupakan hal baru dan menjadi program yang perlu diperkenakan kepada guru besar,” paparnya.
Sementara, penulis dan penyunting buku tersebut, Yunita T. Winarto melanjutkan, dari sini pihaknya mendapatkan tantangan dengan penunjukan langsung dan tidak bisa menolak. Sehingga, sebagai guru besar, publikasi merupakan bagian dari kehidupan dan profesi.
“Suatu publikasi, apalagi ketika sudah ditugaskan, maka mau tidak mau ketika kita bisa lakukan, mengapa tidak,” lanjutnya.
Pihaknya mencari tema yang sesuai. Sebab, jika masing-masing ilmu hasil karya ilmu itu sendiri, tentu tiap guru besar sudah menulis dipublikasi, jurnal nasional, jurnal internasional atau mungkin sebuah
buku.
“Tetapi, apakah masyarakat Indonesia tahu, siapa sebenarnya mereka dan perjalanan keilmuan yang mereka lalui bagaimana. Sehingga, sejak dari mahasiswa, menjadi sarjana, magister, meraih gelar S3 sampai menjadi dosen, lalu mereka harus mengajar, mengadakan penelitian dan pengabdian masyarakat, berarti mereka masih terus mengembangkan ilmu,” papar Yunita.
Akan tetapi, ilmu tersebut akan terus berkembang dan tidak akan sama dalam kurun 10 tahun kedepan, terutama ilmu sosial humaniora, karena mempelajari manusia yang dinamis dan berubah, terlebih masyarakatnya berubah, tiba-tiba harus siap menghadapi perubahan revolusi industri 4.0 dan society 5.0, serta perubahan begitu besar dalam masyarakat itu sendiri.
“Tiap guru besar bergulat dengan ilmunya masing-masing. Kebetulan, saya dan adik saya (Melani) punya pengalaman diundang guru besar National University of Singapure dari Sout East Asian Studies Department, mereka mengumpulkan para pakar dan ahli wilayah kajian Asia Tenggara, baik yang tua dan generasi muda bagaimana mereka berbagi pengalaman dalam mengkaji masalah Asia Tenggara,” katanya.
Karena, di wilayah Asia Tenggara berbeda dengan Eropa, Australia dan negara lainnya berbeda dengan perjalanan ilmuan Asia Tenggara. Di sana, masing-masing menulis perjalanan intelektualnya. Sehingga, dari sana ia ingin tahu tiap guru besar sampai pengembangan ilmu.
“Seperti apa yang diajarkan, diteliti dan kemasyarakatnya bagaimana, sehingga berimbas kepada keilmuannya, ini mungkin menarik untuk digali dan dijadikan bahan agar masyarakat tahu, ini lah karya-karya sosial humaniora tidak hanya mengajar di kelas, atau mungkin ilmu pelangkap dari monitoring dan evaluasi program Sains Technology, atau ketika ada masalah memanggil sosial humaniora karena berurusan dengan masyarakat,” terangnya.
Masalah-masalah di masyarakat itu sendiri, sambung Yunita, adalah bahan kajian Sosial Humaniora, tetapi dengan disiplin ilmu yang berbeda, seperti ilmu hukum, sosial politik, administrasi, budaya, ekonomi dan psikologi.
“Jadi ada enam, ini pastikan beragam sekali disiplin ilmunya, kepakarannya ternyata kami kumpulkan dari anggota dewan guru besar, terutama komite pengembangan keilmuan, itu banyak sekali macamnya,”
ujarnya.
Jika dalam ilmu antropoligi metode ini disebut Auto-etnografi, bagaimana menuliskan perjalanan ilmiahnya tentang diri sendiri sebagai suatu karya ilmiah. Dan, kata dia, itu tidak mudah, karena pergumulan kita harus dituliskan.
“Itulah yang menjadi lokakarya untuk memperkenalkan bagaimana menulis Auto-etnografi itu dalam perjalanan ilmiah. Kami juga pakai peninjau, karena mutu akademisnya harus dijaga, tidak sembarangan habis menulis terus langsung terbit tanpa di review atau sunting. Itu prosesnya memang lama,” ucap Yunita.(Wan/WD)