WartaDepok.com – Informasi kamar kosong terpampang di puluhan muka bangunan indekos (kos) di kawasan Pondok Cina, Beji, Depok. Selain kontak pemilik atau pengelola kos, beberapa fasilitas yang disediakan juga disebutkan. Beberapa iklan dicetak dalam spanduk besar, lengkap dengan foto kamar yang disewakan.
Fauzi, pengelola Batavia Kost yang terletak tidak jauh dari Stasiun Universitas Indonesia (UI), juga sedang menawarkan 3 kamar kosong dari total 22 pintu kos yang ada. Ada kamar kosong, ada Wi-Fi. Demikian informasi yang ditulis secara lugas pada spanduk kuning yang dipasang di pagar kos.
Harga kamar yang disewakan, lengkap dengan kasur, lemari, dan meja belajar, mulai dari Rp 900.000 hingga Rp 1,2 juta per bulan. Selain Wi-Fi, penghuni kos bisa mendapat fasilitas dapur dan kamar mandi bersama. Meski ada jam malam, penghuni kos bisa pulang larut asal mengabari penjaga atau pemilik kos.
Menurut Fauzi, kos yang pertama kali dibangun tahun 2007 itu sudah ditingkatkan fasilitas dan layanannya. Contohnya Wi-Fi yang baru disediakan dua tahun lalu. Namun, tingkat keterisian kosnya tidak pernah sampai 100 persen seperti sepuluh atau lima tahun lalu.
”Mungkin karena banyak kos-kosan baru di sekitar sini,” ujarnya, Rabu (12/2/2020).
Kondisi yang sama dirasakan Kosim, pemilik kos putri 12 pintu, tidak jauh dari Batavia Kost. Kos yang dapat disewakan seharga Rp 550.000 hingga Rp 1.100.000 per bulan itu berusaha menjaga keterisian dengan menawarkan tambahan fasilitas, seperti AC dan Wi-Fi, yang dibutuhkan mahasiswa.
Tempat kos itu juga menawarkan kamar untuk diisi dua orang.
Kos yang dibangun tahun 2007 itu sudah ditingkatkan fasilitas dan layanannya. Contohnya Wi-Fi yang baru disediakan dua tahun lalu. Namun, tingkat keterisian kosnya tidak pernah sampai 100 persen seperti sepuluh atau lima tahun lalu.
Menurut Kosim, mayoritas mahasiswa yang merupakan pasar potensial dari layanan kos di sana semakin menuntut banyak hal. Seperti diketahui, daerah tersebut dikelilingi beberapa perguruan tinggi, seperti UI, Universitas Gunadarma, dan Bina Sarana Informatika.
Sayangnya, tuntutan itu banyak dipenuhi apartemen yang kini menjamur di sekitar Margonda. Hal itu pun dianggap sebagai penyebab kos tidak seramai dulu. ”(Sepi) pas apartemen mulai banyak masuk. Sekarang enggak jelas,” ujarnya saat ditemui secara terpisah.
Sakinah (28), pekerja swasta yang telah 10 tahun menjadi penghuni kos di daerah yang sama, juga mengatakan, fasilitas tertentu menjadi alasannya masih bertahan di kosnya saat ini. ”Biayanya Rp 1,2 juta per bulan atau sekitar 10 persen penghasilanku. Tetapi, ini untuk berdua dengan adikku dan sudah termasuk Wi-Fi tanpa batas,” tuturnya.
Walaupun fasilitas kosnya dinilai cukup, faktor bangunan yang terbilang standar ia nilai menjadi alasan tempatnya tinggal saat ini sepi penghuni. Dari dua bangunan yang ada dengan total sekitar 50 kamar, keterisiannya tidak sampai 20 persen.
”Kos yang bangunannya tua kayak kos aku sepertinya susah bertahan. Di sekitar sini juga ada kos baru yang bangunan dan fasilitasnya bagus dan mahal, tetapi laris,” ungkapnya.
Persaingan dengan apartemen
Kehadiran apartemen baru di kawasan Margonda, Depok, tidak dimungkiri lebih menarik bagi kalangan mahasiswa. Apalagi, apartemen baru tersebut dibangun untuk menyasar segmen mahasiswa dan pekerja muda.
Mayoritas mahasiswa yang merupakan pasar potensial dari layanan kos di sana semakin menuntut banyak hal. Sayangnya, tuntutan itu banyak dipenuhi apartemen yang kini menjamur di sekitar Margonda.
Contohnya, Apartemen Taman Melati, Evencio Margonda, Margonda Residence, dan Park View Condominium Depok Town Square. Apartemen dan kondominium yang dikembangkan oleh sejumlah pengembang, baik perusahaan pelat merah maupun swasta, disewakan mulai dari Rp 3 juta.
Shintya Dewi (19), mahasiswa asal daerah yang menyewa Apartemen Taman Melati, mengaku lebih memilih tinggal di apartemen karena banyak fasilitas yang ia dapatkan. Dua tahun terakhir ini, ia menyewa kamar ukuran studio yang sudah dilengkapi furnitur seharga Rp 3,5 juta per bulan dengan sokongan dana orangtua.
”Di sana fasilitas lengkap, ada kulkas, TV, AC, air panas. Aku enggak perlu beli banyak barang. Apalagi aku perantauan, kan. Kalau ada keluarga datang bisa menginap di apartemen juga,” katanya.
Sisca (26), penghuni Park View Condominium Depok Town Square yang dekat dengan Stasiun Pondok Cina, mengakui, keterjangkauan fasilitas menjadi alasannya lebih memilih apartemen.
”Selain dekat stasiun KRL, tempat tinggal ada di atas mal dan ada fasilitas olahraga, seperti kolam renang,” ucap karyawan swasta yang rela menyewa hunian vertikal meski harus mengeluarkan 30 persen gajinya setiap bulan.
Tren ”co-living”
Pada kesempatan berbeda, Director Strategic Consulting Cushman & Wakefield Indonesia Arief Rahardjo mengatakan, saat ini semakin banyak apartemen atau kondominium yang diubah menjadi communal living (co-living) atau hunian bersama.
Tren ini menjadikan hunian vertikal itu lebih terjangkau untuk milenial dengan beragam fasilitas untuk aktivitas bersama. ”Konsep co-living membantu milenial yang tidak mampu membeli hunian di daerah bisnis,” katanya saat melaporkan ulasan pasar properti pada 2019 dan proyeksinya pada 2020 di Jakarta.
Strategi pengembang untuk mengubah apartemen jual menjadi co-living juga dinilai semakin kompetitif. Hal itu diperlukan untuk meningkatkan keterisian hunian.
Menurut laporan Cushman & Wakefield, sampai triwulan IV-2019, tingkat hunian apartemen dan kondominium di Jakarta dan sekitarnya rata-rata masih berkisar 50 persen.