Citizen Journalism

Film Tauhid, Maha Karya yang Hilang

469
×

Film Tauhid, Maha Karya yang Hilang

Sebarkan artikel ini

Oleh: Khairulloh Ahyari*

Tahun 1964, Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) Nahdlatul Ulama membuat sebuah film sangat apik tentang perjalanan spiritual seorang muslim modern.

Film yang mendapatkan dukungan dan persetujuan dari Presiden pertama RI Soekarno. Bahkan Bung Karno meminta syarat film tersebut harus memiliki kualitas yang baik.

“Beliau tidak mau film agama itu kaku penuh dakwah dan doktriner. Beliau menginginkan agar film itu berisi perenungan pencarian,” kenang Misbach atas syarat yang diajukan oleh Bung Karno sebagaimana ditulisnya, “Asrul dalam Film” dalam “Asrul Sani: 70 tahun” (Pustaka Jaya: 1997).

Dengan dorongan dan persetujuan sang presiden, film itu pun dipersiapkan. Namun, bukan soal mudah untuk mewujudkan sebuah film dengan ekspetasi yang sangat tinggi.

Asrul yang ditunjuk sebagai sutradara, cukup kesulitan untuk menulis skenarionya. Ia berulang kali merumuskan alur ceritanya. Namun tak kunjung kelar. Untuk menyelesaikannya, Asrul mengajak Misbach sebagai sparring partner guna memperdebatkan gagasan-gagasannya tentang film tersebut.

“Skenario itu ditulis seluruhnya di atas kapal dan selama prosesi haji,” aku Misbch sebagaimana diungkapkan dalam wawancara dengan Henry Chambert-Loir (Naik Haji di Masa Silam, 2013).

Di atas kapal tua Ambulambo milik PT. Arafat itu, Asrul mampu menyelesaikannya. Menurut Misbach dalam “Kenang-Kenangan Orang Bandel; Naik Haji Tahun 1964”, skenario tersebut Asrul terinspirasi dari Dokter Bambang.

Seorang dokter yang berasal dari Magelang dan bekerja dalam perjalanan haji dengan tujuan mengumpulkan uang untuk mengganti blok mesin mobilnya dan sama sekali tak berminat menunaikan ibadah haji. Meski pada akhirnya ia melakukannya juga.

Selain itu, cerita film tersebut juga terinspirasi dari pengalaman spritual Asrul sendiri ketika menunaikan haji setahun sebelumnya. (Baca tulisan menarik: Orang Desa Naik Haji)

Film tersebut, diberi judul Tauhid. Pemeran utamanya antara lain Ismed M. Noor yang memerankan seorang pilot bernama Mayor Udara Mursyid, Nurbani Jusuf yang menjadi seorang guru agama muda dan M.E. Zainuddin yang menjadi seorang pengarang.

Sementara itu, yang menjadi seorang dokter adalah Aedy Moward. Di film tersebut ia berperan sebagai Dokter Halim.

Film besutan sineas kelahiran Sumatera Barat, 1927 itu, berhasil diproduksi. Bahkan, sempat diputar di bioskop. Sayangnya, situasi politik pada saat film tersebut beredar (1965) sedang bergejolak. PKI melakukan kudeta. Keamanan turun drastis. Dunia perfilman pun lesu.

Film yang digadang oleh Bung Karno bakal monemuntal itu, semakin parah dengan hilangnya copy film tersebut. Kondisi penyimpanan yang buruk di Sinematek membuat film tersebut tak lagi ditemukan.

Begitu juga dengan arsip skenario juga tak karuan rimbanya. Tauhid, film haji pertama itu pun, makin terlupakan. Hanya judul yang tersisa dan tak lagi bisa dinikmati.

Saya membayangkan, film Tauhid ini mewakili kegelisahan Bung Karno tentang pencarian panjang beliau tentang Islam dan ideologi-ideologi besar dunia.

Juga kegelisahan beliau melihat kondisi ummat Islam yang tertinggal, karena justru jauh dari etos dan akhlak yang dicontohkan oleh Baginda Muhammad. Sangat disayangkan karya para sineas besar Indonesia ini hilang dan hanya meninggalkan jejak yang sangat sedikit.

Semoga ke depan akan banyak muncul film berkualitas yang indah, apik dan mencerahkan…

*Penulis adalah pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Depok serta Anggota DPRD Depok Fraksi PKS. Narasi tulisan, selain opini personal penulis, sebagian diambil dari berbagai sumber.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *