WartaDepok.com – Senja baru saja pergi. Pemukiman teratur (perumahan) itu seperti mati. Tanpa penghuni. Tak ada orang yang wara wiri.
Bukan hantu atau penjahat yang mereka takuti. Di depan gerbang pos ada security. Tiap 1 jam petugas keliling berbagi. Semua orang memilih diam di rumah. Isolasi mandiri. Mereka patuh pada arahan Ketua RT. Mereka sadar ancaman Covid-19. Keluar masuk pintu gerbang pun harus memakai masker.
Suasana berbeda 180 derajat di pemukiman non-perumahan. Banyak orang lalu lalang. Ada yang pakai masker. Banyak juga yang tidak. Di satu sudut juga masih ada yang berkerumun. Sekelompok remaja maupun orang tua kongkow-kongkow. Tak ada social distancing. Anak-anak masih bermain, berlari, dan bercanda.
Seolah-olah tak ada apa-apa. Atau memang mereka tak tahu apa yang sedang terjadi. Bisa juga informasi tidak sampai ke akar rumput. Jangan-jangan RT-nya juga cuek. Dan seterusnya dengan berbagai kemungkinan.
Entah apa yang ada di benak mereka. Saya tak ingin mencaci apalagi menghujat. Kondisi hari ini sangat sensitif. Saya teringat WhapApps seorang teman. Sedih dan prihatin membacanya.
Dia merasa lelah. Warga di sekitarnya susah diatur. Himbauan pak RT tak didengar. Apalagi Pak RW atau Lurah yang jauh jaraknya dengan mereka. Pasti dicuekin.
Diakui atau tidak. Disadari atau tidak, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di kota Depok tak berjalan efektif. Tiap hari ada pasien terkonfirmasi positif Covid-19. Jumlahnya sudah ratusan. Pasien yang sembuh bergerak pelan. Kematian terus bertambah. Sungguh mengerikan.
Wakil Wali Kota Depok Pradi Supriatna mengakui banyak warganya yang bandel. Berseleweran di jalan tanpa pelindung masker. “Pemahaman mereka akan wabah virus corona masih terbatas. Mau dekat atau jauh wajib pakai masker, apalagi berkendaraan. Demi keselamatan kita semua,” kata Pradi.
Kesadaran masyarakat sangat rendah. Mereka tak mau ambil pusing. Bisa makan sehari-hari itu yang penting. Siapa yang beri makan keluarga jika mereka tidak mencari nafkah. “Pejabat hanya bisa menghimbau, tapi perut kami tidak keroncongan tak diperhatikan,” cetus seseorang di warung kelontong.
“Mati kelaparan itu yang kami takutkan, bukan karena corona. Lillahita Allah aja,” tambahnya.
Saya tak ingin mengajaknya berdebat. Saya juga tak berdaya memberi nasihat. Ini urusan perut. Himbauan lewat spanduk kurang tepat sasaran. Perlunya iklan layanan masyarakat yang bisa mengubah pikiran masyarakat.
Tak heran masih banyak orang lalu lalang. Kendaraan berseleweran di jalan. Bahkan tanpa masker dan berboncengan. Petugas hanya bisa sebatas menghimbau. Tidak ada sanksi yang membuat mereka takut.
Virus ini hidup dengan menjadikan manusia sebagai inangnya. Virus itu pindah-pindah dari satu manusia ke manusia. Dia punya masa hidup tertentu pada satu tempat tertentu. Maka untuk mengakhiri pandemi virus ini satu-satunya jalan adalah putus mata rantai perpindahannya. Garda terdepan adalah masyarakat itu sendiri.
Memutus mata rantai itu dengan cara rajin cuci tangan, pakai masker, dan kaca mata. Jaga jarak bersosial, jaga vitalitas tubuh, dan tak kalah penting berdoa. Semua itu telah dikampanyekan lewat media oleh pejabat, tokoh maysrakat, ulama, selebriti, influencer, komedian dan lain lain. Bahkan hastag #DiRumahAja menjadi trending.
Instagram pun sampai merilis stiker #DiRumahAja sebagai bentuk support untuk mengajak masyarakat untuk bertahan di rumah. Hanya saja kita tidak bisa memungkiri.
Ada banyak peran yang tidak bisa untuk #DiRumahAja. Rata-rata pekerjaan masyarakat adalah pekerja harian. Bila tidak bekerja mereka tidak akan ada asap di dapur. Mereka beralasan “Rela mati karena bekerja di luar daripada mati di rumah karena kelaparan”. Menangis hati saya mendengar ini.
**
Masyarakat Indonesia khususnya Depok, tidak punya rekam jejak disiplin yang kuat. Ketaatan hukum masyarakat terhadap peraturan masih minim. Ketaatan hukum itu sendiri dapat di bedakan dalam tiga jenis.
Mengutip pendapat H.C.Kelman dan L.Pospisil, yakni: Ketaatan yang bersifat compliance, ketaatan yang bersifat identification, serta ketaatan yang bersifat internalization.
Ketaatan hukum yang bersifat compliance dapat diartikan jika seseorang menaati suatu aturan hanya karena takut terkena sanksi. Kelemahan ketaatan jenis ini karena membutuhkan pengawasan yang terus menerus.
Ketaatan yang bersifat identification dapat diartikan jika seseorang menaati suatu aturan, hanya karena takut hubungan baiknya dengan pihak lain menjadi rusak.
Sedangkan ketaatan yang bersifat internalization dapat diartikan jika seseorang menaati suatu aturan, benar-benar karena merasa, bahwa aturan itu sesuai dengan nilai-nilai intrinsik yang dianutnya.
Penjelasan dari ketiga ketaatan tersebut diharapkan mampu melahirkan sebuah pemahaman kesadaran hukum. Kesadaran hukum yang baik akan melahirkan ketaatan hukum, sedangkan kesadaran hukum yang buruk akan melahirkan ketidaktaatan hukum.
Saya melihat ketaatan hukum itu tergantung juga pada pemimpinnya. Leadership seorang pemimpin bisa mempengaruhi masyarakat. Jika himbauan untuk melakukan social distancing tidak mempan sama sekali, leadership Wali Kota Depok patut dipertanyakan.
Pikiran sayapun kemudian mengembara, teringat ucapan Tom Peters: “Pemimpin tidak sekadar menciptakan pengikut. Pemimpin lebih banyak menciptakan pemimpin.” Pemimpin yang hebat itu melahirkan pengikut yang siap menjadi pemimpin. Bukan melahirkan pengikut yang membabi buta, keras kepala, dan tanpa nalar.
Pemimpin harus melakukan akukan tindakan yang nyata bukan hanya kata-kata. Seperti kutipan kata bijak dari Harold Geneen. “Kepemimpinan dilaksanakan lebih sebagai sikap dan tindakan nyata, bukan sekadar kata-kata.”
Kebanyakan pemimpin memberikan kata-kata yang manis tanpa ada bukti berupa tindakan yang nyata. Jangan menjadi pemimpin yang sering mengumbar kata-kata manis. Anda harus lebih menekankan kepada sikap dan tindakan nyata.
Saya melihat banyak kendala yang dihadapai dalam penerapan PSBB. Pertama, kesiapan pemenuhan kebutuhan pokok atau logistik masyarakat.
Kedua, pengawasan dan pemantauan aktivitas di lapangan masih kurang efektif. Ketiga, penindakan atas pelanggaran yang dilakukan tidak tegas. Keempat, semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan pembatasan itu sinergi dan koordinatif.
Sejatinya, unsur pemerintah kota, Forkopimda, relawan maupun LSM yang turut membantu pelaksanaan kebijakan PSBB terlebih dahulu mempersiapkan mekanisme dan standar operasional, kebutuhan logistik masyarakat, dan tim penindakan dan upaya praktis dalam pelaksanaan di lapangan.
Memutus mata rantai penyebaran virus, termasuk potensi yang kemungkinan terjadi di luar mekanisme pembatasan sosial ini, adalah limbah alat pelindung diri, sejatinya harus pula diperhatikan.
Dari berbagai riset menyatakan bahwa limbah alat pelindung yang tidak dimusnahkan secara baik. Juga bisa menjadi penyebab penularan virus. Ini yang selama ini tidak disinggung dalam pelaksanaan PSBB untuk memutus jaringan penyebaran virus.*
Suryansyah, Sekjen Siwo PWI Pusat