Opini

Sejarah Mencatat Kita

94
×

Sejarah Mencatat Kita

Sebarkan artikel ini
Suryanyusyah, Sekjen Siwo PWI Pusat

Oleh: Suryansyah

WartaDepok.com – Suara takbir masih menggema. Haji Ngatijo yang mengumandangkan. Dia Ketua DKM musolah Al-Qolam di komplek saya tinggal, Permata Depok, Jawa Barat. Bergantian dengan Haji Kusnan. Saya dan warga lainnya juga ikutan. Sesekali ditingkahi suara mercon di udara dari pemukiman tetangga.

Allaahu akbar … allaahu akbar allaahu akbar… Laa ilaaha illallaahu wallaahu akbar. Allaahu akbar wa lillaahil-hamd…

(Allah maha besar Allah maha besar Allah maha besar. Tidak ada tuhan melainkan Allah, dan Allah maha besar, Allah maha besar dan segala puji bagi Allah).

Indahnya lantunan gema takbir membuat hati bergetar. Inilah cara umat Islam menyambut hari kemenangan. Dalam kitab Fathul Qarib disebutkan bahwa disunahkan untuk menggemakan takbir pada malam Hari Raya.

Air mata tak terasa menetes di wajah. Gema Idul Fitri masih ada. Walau tidak seperti tahun sebelumnya. Kali ini agak berbeda. Satu sama lain harus diatur jaraknya. Tak boleh berdekatan. Social distancing, sesuai protokol pemerintah.

“Ada anak-anak nggak Pah di musolah?,” anak bungsu saya, Azkia Zahwa Nisa bertanya lewat pesan WhatsApp.

Hati terenyuh untuk menjawabnya. Setelah saya membalas pesannya dan menjelaskannya, dia hanya bisa bilang: oooh… sepi donk plus emoji sedih.

Setetes air mata tak terasa tumpah. Tak ada anak-anak di musolah. Mereka yang biasanya meramaikan, kini harus takbir di rumah.

Sudah tiga bulan mereka ‘dikarantina’. Tak bisa bermain dan bercanda dengan teman seusianya. Biasanya sibuk cari tempat untuk sholat tarawih. Kini, menjalankannya di rumah bersama keluarga. Saya bisa merasakan gejolak hatinya.

Suara gema takbir itu berhenti sekitar pukul 22.00 WIB. Haji Ngatijo dan Haji Kusnan mengunci musolah. Saya dan lainnya beranjak pulang ke rumah. Tapi, saya tetap terjaga. Tak bisa melepas lelah. Hati saya gelisah. Kepala bercampur aduk tak karuan. Tapi apa daya.

Saya masih mendengar takbir di hening malam. Tapi dari masjid atau musolah di luar komplek. Bahkan hingga sholat Subuh.

Perlahan Matahari menyambut 1 Syawal 1441 H. Kami siap-siap melaksanakan Sholat Ied. Tapi di rumah. Saya memakai baju koko yang lama. Istri dan anak juga begitu. Tak ada baju baru lebaran. Kami tidak belanja ke pasar atau mall. Saya tak punya nyali berada di tengah kerumunan orang. Saya tak mau terdampak virus corona. Saya bersyukur anak-anak memahami situasi yang terjadi di luar sana. Mereka tak merengek minta ke Mall untuk belanja.

Ini mungkin momen langka. Sepanjang usia belum pernah jadi imam Sholat Ied. Hampir seminggu saya menghafalkan tata caranya. Pun surah yang harus dibaca. Saya menggores sejarah minimal untuk diri sendiri.

Selesai sholat Ied, dilanjutkan doa, takbir, dan salaman. Tidak terasa air bening merebak di sudut mata. Inilah pertama kali sholat Ied di rumah. Inilah hikmah dari pendemi virus corona. Menjadi imam, memperbaiki bacaan, menambah jumlah hafalan surah-surah Al Qur’an. Walaupun kadang dikoreksi oleh istri saya.

Tradisi kumpul-kumpul di depan musolah atau lapangan sirna. Minggu (24/5) pagi itu benar-benar sepi. Tak ada yang keluar rumah. Tak ada tamu yang mengetuk pintu.

Jalan di kompleks perumahan kami sunyi. Terasa ada yang hilang. Tahun-tahun sebelumnya, seusai sholat warga berkumpul di jalan depan musolah. Kami silaturahim, maaf memaafkan. Berfoto bersama. Tertawa lepas dalam canda. Setelah itu baru kami keluar komplek mengunjungi keluarga, kerabat, sanak saudara.

Silaturahim dengan famili lewat zoom jadi opsi. Tapi, waktunya terbatas. Tak bisa leluasa. Pandemi virus corona membuat kita nelangsa. Tapi, kita menjadi saksi sejarah yang dicatat.

Lagu Lebaran ciptaan Ismail Marzuki pada 1950 sedikit menghibur hati. Tapi hingga matahari Syawal meninggi, komplek kami seperti mati suri. Udara panas dan pengap. Mata ini makin lelah.

Allaahu akbar … allaahu akbar allaahu akbar… Laa ilaaha illallaahu wallaahu akbar. Allaahu akbar wa lillaahil-hamd…

Gema Takbir masih berkumandang. Memecah langit dalam kesunyian. Bintang bertaburan dan angin kecil lirih menyapa. Meski Idul Fitri 1441 H ini berbeda. Bergema di tengah dunia berduka karena wabah virus corona.

Semoga gema takbir di penjuru dunia pada Sabtu hingga Minggu, 23-24 Mei 2020 itu jadi pertanda perintahMu mengusir pandemi virus corona.

Saya yakin di balik musibah ada hikmah. Kita semua tentu bisa merasakannya. Semoga kita siap menghadapi era baru pasca corona. Tetapi harus tetap memperhatikan protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran virus corona.

*Sekjen Siwo PWI Pusat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *