WartaDepok.com – Hari lahir Pancasila kali ini memperingati dalam kondisi krisis pandemi corona pada 1 Juni 2020.
Pakar Keamanan Siber Pratama Persadha melihat masih banyak pekerjaan rumah bagi negara untuk menjaga eksistensi Pancasila sebagai dasar negara dan pedoman hidup bangsa.
Menurutnya semakin berkembangnya teknologi ikut mendorong sentralisasi ekonomi secara global.
“Ruang siber ini tanpa batas, informasi mengalir begitu cepat. Bersamaan dengan aliran informasi juga ada bahaya seperti peretasan, hoaks, ancaman dan paling berbahaya adalah sentralisasi ekonomi secara global,” kata Pratama melalui keteranganya.
Pria yang menjabat Chairman Lembaga Riset Siber CISSReC (Communication & Information System Security Research Center) ini menjelaskan, Pancasila punya cita-cita luhur agar kesejahteraan bisa dirasakan oleh segenap anak bangsa dalam suasana damai dan penuh rasa persatuan.
Namun kini ancaman yang datang dari ruang siber bertambah karena belum siapnya kita dengan berbagai regulasi.
Hal ini membuat masyarakat tanah air terancam semakin sulit mewujudkan kesejahteraan, utamanya karena kemajuan teknologi ikut mendorong sentralisasi ekonomi secara global.
“Semakin berkembangnya teknologi di ruang siber mau disadari atau tidak mendorong sentralisasi ekonomi secara global. Sungguh ini situasi yang sulit, disaat amanat reformasi mendorong desentralisasi ekonomi, kondisi global saat ini mendorong sentralisasi ekonomi.
Bila tidak siap dengan regulasi, akan sangat berbahaya untuk kelangsungan bangsa kedepan,” jelas pria asal Cepu Jawa Tengah ini.
Maksud Pratama adalah banyaknya layanan di ruang siber yang memutus akses negara misalnya untuk urusan pajak.
Contohnya saat kita berlangganan Netflix atau membeli software di luar negeri, banyak sekali transaksi tersebut tanpa dikenai pajak.
Pengawasan transaksi jelas sulit, karena posisi penjual juga tidak di tanah air.
“Urusan pajak hanya salah satu saja. Urusan data, raksasa teknologi seperti menambang emas dari negara kita dalam berbagai bentuk seperti mesin peramban, smartphone, aplikasi dan marketplace.
Padahal data sangat mahal saat ini, tapi regulasi kita tidak siap mengatur agar ada pembagian merata antara negara dengan perusahaan teknologi dan juga masyrakat,” tegasnya.
Ditambahkan Pratama sentralisasi ekonomi secara global jelas melemahkan negara.
Pajak yang berkurang dan eksploitasi data tanpa regulasi ketat membuat Indonesia perlahan berkurang daya tawarnya di depan para korporasi asing dan negara asing.
Pada akhirnya sulit untuk menjaga Pancasila sebagai landasan hidup bagi masyarakat, karena kesejahteraan yang semakin sulit diwujudkan di tengah masyarakat.
“Penerimaan negara berkurang, masyarakat kita digempur dengan informasi yang diolah sedemikian rupa melemahkan persatuan dan ketergantungan teknologi, ketiganya membuat kita sebagai bangsa semakin jauh dari Pancasila,” terangnya.
Karena itu, Pratama menghimbau seluruh elemen bangsa terutama para pengambil kebijakan untuk serius melihat apa potensi dan ancaman ruang siber.
Karena semakin hari, kita semakin menjadi pasar saja bagi asing.
Ruang siber memberikan peluang kita berkreasi dan menjadi produsen, bila tidak melakukan itu kita hanya akan menjadi konsumen yang kehilangan daya tawar di depan negara lain.
“Coba kita lihat program internet murah Elon Musk, Starlink. Direncakan 2021 akan launching secara global. Harga dan kecepatannya ratusan kali lebih murah serta lebih cepat dari internet saat ini di tanah air. Bila tidak disiapkan, jelas akan menjadi pukulan telak bagi industri telekomunikasi tanah air,” tegas Pratama.
Karena itu menurut Pratama, negara harus mendorong produksi teknologi dalam negeri yang selaras dengan kebutuhan masyarakat dengan menyesuaikan budaya, sosial, politik dan ekonomi Indonesia.
Perlindungan data harus ditingkatkan dan paling penting keberpihakan negara pada produk lokal harus benar-benar ada.
Ruang siber yang bertambah luas, namun hanya menggunakan platform luar terus menerus jelas akan menggerus nilai-nilai Pancasila di masyarakat. (Wan/WD)