Humaniora

Literasi Tangkal Infodemik, Gerakan Mencari Solusi di Tengah Pandemik

86
×

Literasi Tangkal Infodemik, Gerakan Mencari Solusi di Tengah Pandemik

Sebarkan artikel ini

WartaDepok.com – Bertempat di Pusgiwa UI Depok, Devie Rahmawati, Peneliti dan pengajar di Program Vokasi UI menggelarsProgram Pengabdian Masyarakat Memforward Manfaat berjudul Literasi Tangkal Infodemik: Gerakan Mencari Solusi di Tengah Pandemik.

Kegiatan ini menghadirkan 40 peserta terdiri atas mahasiswa, masyarakat depok, pengajar dan juga media.

Pertemuan dilakukan dengan memperhatikan protokol kesehatan, dimana dilakukan pengecekan suhu, penggunaan masker dan pemberian handsanitizer.

Tidak hanya itu, kegiatan berlangsung dengan prinsip 3A : Udara, jarak dan lama. Pintu ruangan terbuka, dimana peserta dalam posisi berjarak serta dilakukan hanya selama 2 jam.

Devie menyampaikan bahwa di tengah-tengah pandemi Korona, ada tantangan “virus” lain yaitu infodemik, yaitu penyebaran berita – berita bohong, yang dapat mendorong masyarakat berperilaku beresiko, menurunkan kepercayaan kepada otoritas kesehatan dan juga membuat masyarakat menjadi terlalu percaya diri.

Sebagai perbandingan, studi di Amerika Serikat ditemukan bahwa sekitar 13% masyarakat Amerika yang percaya bahwa Covid itu hoax; 49% itu rekayasa manusia. Fakta obyektif ini menunjukkan bahwa “virus infodemik” ini juga menjangkiti masyarat maju.

Studi di barat tentang respon masyarakat di tengah – tengah krisis (bencana alam, kesehatan, perna dan lainnya) menunjukkan bahwa biasanya terbentuk empat pola masyarakat yaitu patuh, pengikut, petualangan dan pemberontak.

Jumlah masyarakat yang masuk dalam kategori pemberontak, yang tidak mau mematuhi atau menolak upaya-upaya menuju perbaikan dari krisis sekitar 10-20% paling tinggi. Jumlah ini tentu saja tidak dapat dipandang sederhana.

Walau belum ada penelitian mendalam tentang respon masyarakat terkait covid yang masuk dalam kategori pemberontak, bila diasumsikan terdapat 10% saja dari 270 juta masyarakat Indonesia yang tidak taat pada protokol kesehatan, maka berpotensi ada sekitar 27 juta orang yang akan dengan percaya diri melakukan aktivitas beresiko di tengah pandemi ini.

Masyarakat yang masuk dalam kategori “pemberontak” ini, dapat berasal dari individu dengan latar belakang suku, ras, agama, pendidikan dan ekonomi yang beragam.

Lagi-lagi mengambil contoh di Amerika Serikat, ada seorang penulis intelektual ternama, lulusan universitas ternama, juga mempercayai bahwa Covid ialah hoax.

Artinya virus infodemik ini dapat menerpa siapapun.

Mengapa infodemik dapat menyebar dengan luas? Dari rangkuman studi-studi yang dilakukan, ada beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut:

Banjir informasi. Menurut data Go Globe, dalam satu menit, setiap harinya, terdapat 98.000 cuitan twitter, 1.500 unggahan blog, 168 juta surel, 600 video baru di YouTube, 70 domain terdaftar, 695.000 status fb dan sebagainya.

Hal ini yang membuat setiap individu mengalami kesulitan untuk melakukan filter terhadap informasi yang mereka konsumsi.

Semangat kepahlawanan. Manusia memiliki dorongan untuk dapat menjadi “pahlawan” bagi manusia lainnya.

Sehingga ada banyak individu yang dengan mudah menyebarkan informasi perihal vaksin corona misalnya, karena ingin menjadi pahlawan bagi individu lainnya, murni ingin menolong, bukan karena motif ekonomi atau politik.

Manusia memiliki kecenderungan untuk berbagai keresahan/ketakutan/kecemasan kepada orang lain.

Ketika mereka menerima informasi yang menakutkan, tanpa pikir panjang, mereka akan membagikan informasi tersebut, agar mereka tidak merasa resah/takut/cemas sendirian.

Secara kecendrungan individu yang hanya mau mendengar serta mencari informasi yang sesuai dengan keinginan atau keyakinannya, membuat mereka menjadi tertutup dari potensi untuk menetima informasi lain, yang bisa jadi sebuah informasi yang telah terverifikasi.

Individu yang juga gemar berbagi info, tanpa melakukan verifikasi terhadap info yang dibagikan, juga terjadi karena banyak individu memang tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman atas sebuah informasi yang diperoleh.

BACA JUGA:  Kwarcab Depok Targetkan 20 Persen Gugus Depan Terakreditasi

Sehingga hal yang wajar kalau mereka kemudian menyebarkan informasi yang tidak tepat.

Insentif Penghargaan yang ditawarkan oleh teknologi berupa likes, retweets, telah mendorong manusia menjadi berkompetisi untuk mendapatkan pujian berupa “jempol” tersebut.

Karakter berita hoaks yang sensational, membuat individu yang menyebarkannya berpeluang mendapatkan penghargaan dari individu lain, karena miming berita yang disebarkan memiliki daya pikat tersendiri.

Individu dalam merespon sebuah informasi lebih sering menggunakan intuisi dibandingkan intelegensia. Mengapa? Karena manusia selalu mengharapkan jawaban yang cepat dari setiap persoalan yang dihadapi.

Tidak hanya itu, kecanggihan teknologi seperti deep fakes, yang mampu merubah – rubs video seseorang menjadi sesuai yang diinginkan, membuat semakin sulit bagi manusia memilah-milah mana informasi yang benar atau tidak.

Insentif ekonomi berupa keuntungan finansial dari mekanisme click bait, membuat ada individu yang menjadikan produksi berita hoaks sebagai sandaran hidupnya.

Lantas bagaimana mengatasi tantangan ini?Meyakinkan individu yang sudah terpapar oleh berita bohong, tidak dapat argumen-argumen yang logis.

Tetapi dapat dilakukan dengan menampilkam fakta berupa visual. Karena secara biologis, tubuh lebih mampu menerima informasi berupa visual dengan cepat.

Studi akademik menunjukkan bahwa gambar-gambar yang menarik dan selalu ditampilkan secara berulang-ulang akan lebih Judah diingat dan dipercaya. Membangun mental “kepo” yang positif.

Selalu mempertanyakan setiap informasi yang diterima, seperti : Emang iya? Dapat darimana?Kata Siapa? Lihat Sendirikah?
Membangun hubungan yang positif dengan orang-orang yang telah terpapar berita bohong.

Karena ketika hubungan sudah positif yang ditandai dengan tingkat kepercayaan yang tinggi, akan mudah bagi kita mengkomunikasikan kepada individu bahwa informasi yang diterimanya tidak benar.

Pendekatan komunikasi dialogis bukan repressiv dengan memonopoli dan menghakimi. Sampaikan bahwa sebenarnya banyak sekali informasi, sehingga dapat saling bertukar informasi.

Mereka yang sudah terpapar tidak hanya membaca informasi yang mereka percayai, mereka akan mendapatkan alternatif pemikiran.

Untuk itu, kita harus memperlihatkan ketertarikan terhadap pendapat mereka, sebelum kita memasukkan pendapat kita kepada mereka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *