WartaDepok. com– Pemerintah Kota Depok melihat belum ada kejelasan dari kebijakan Electronic Road Pricing (ERP), yang direncanakan oleh Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BP
Sekertaris Daerah Kota Depok Hardiono mengatakan, ERP masih sebatas kajian belum sampai tahap implementasi atau penerapan. Sehingga, belum bisa dinyatakan sebuah kebijakan.
“Saya sudah berkoordinasi dengan Kadishub (Depok) dan beliau mengatakan bahwa itu baru berupa kajian belum sampai ke penerapan. Jadi belum bisa dikatakan sebuah kebijakan, karena masih banyak kendala yang harus dikaji,” ucap Hardiono, Jumat (22/11).
Selain itu, Hardiono mengatakan ada banyak variabel atau fokus dari aturan ERP. Pasalnya apabila memang ditetapkan kedepannya, aturan mengenai jalan berbayar tersebut akan menjadi kebijakan publik.
“Harus ada kajian yang matang, sebelum menjadi kebijakan,” bebernya.
Sehingga, Haridiono menegaskan BPTJ harus mengkaji aturan tersebut secara akademis kemudian sampaikan kepada Pemerintah Kota Depok. Seperti diketahui, ERP juga akan diterapkan di Jalan Utama Margonda Kota Depok.
“Karena Pemkot yang terdampak, nah dampaknya itu merugikan atau menguntungkan. Kan, kita belum tau itu ditambah lagi nanti komen masyarakat (sebagai pengguna jalan) seperti apa,” katanya.
Saat ditanya lebih jauh mengenai aturan berbayar tersebut, Hardiono menjelaskan belum mengetahui secara pasti.
“Saya belum liat kajiannya seperti apa minimalnya sudah dibaca baru saya komentar (lebih jauh),” jelasnya.
Sementara itu, menyangkut kebijakan ERP tersebut Kepala BPTJ Bambang Prihartono meminta masyarakat tidak perlu resah karena pada saatnya nanti sebelum diimplementasikan pasti akan didahului dengan sosialisasi dan uji coba.
Kebijakan tersebut, justru berpihak pada kepentingan masyarakat banyak dengan prinsip berkeadilan. Prinsipnya bagi pengguna kendaran bukan angkutan umum dikenakan biaya apabila melewati koridor-koridor yang diberlakukan ERP.
Besaran biaya yang dikenakan bergantung dari tingkat kemacetan yang terjadi dengan ketentuan semakin macet maka akan semakin besar biaya yang dikenakan.
“Jadi ERP bukan berarti kendaraan yang lewat harus membayar, namun kendaraan yang menyebabkan kemacetan pada ruas jalan tertentu akan dikenakan biaya atau yang kita sebut dengan congestion charge,” terangnya.
Bambang menuturkan nantinya akan diwujudkan prinsip berkeadilan dimana masyarakat bisa memilih tetap menggunakan kendaraan pribadi namun dikenakan biaya ERP atau berpindah menggunakan angkutan umum.
Pengenaan biaya dari kebijakan ERP ini akan menjadi pendapatan negara bukan pajak yang sepenuhnya akan digunakan untuk peningkatan penyelenggaraan transportasi umum di wilayah tersebut.
Selain itu, masyarakat juga tidak perlu khawatir mobilitasnya akan terganggu, karena pada saat implementasi kebijakan ERP pasti akan dilengkapi dengan kebijakan-kebijakan pendukung lainnya.
Misalnya apabila ketersediaan angkutan umum massal setempat belum memadai pasti akan dilakukan kebijakan pembenahan angkutan umum baik menyangkut jumlah maupun pelayanan.
“Kemacetan di Jabodetabek sudah menimbulkan banyak kerugian dan menurunkan kualitas hidup manusia dan lingkungan, oleh karena itu pemecahan masalah kemacetan butuh partisipasi semua pihak,” pungkasnya.
Data Bappenas 2017 menyebutkan kerugian akibat kemacetan di Jakarta saja sekitar 65,7 triliun rupiah/tahun, angka tersebut tentu akan berkembang lebih besar untuk lingkup Jabodetabek.
Selain itu polusi udara karena kemacetan lalu-lintas juga menyebabkan kualitas udara di langit Jakarta dan kota-kota di sekitarnya sering memburuk pada level yang membahayakan kesehatan dan menempati rangking atas terburuk di dunia.(Wan/WD)