WartaDepok.com – Pada masa pertumbuhan, terdapat beberapa kondisi pada kaki anak yang seringkali membuat orang tua khawatir, misalnya kaki anak ceper, berbentuk O atau X, dan beberapa kondisi lainnya.
Kelainan ini dapat terjadi sebagai hal yang umum mengingat anak masih dalam tahap pertumbuhan, namun terdapat pula beberapa kondisi yang harus segera dikonsultasikan ke dokter.
Bagaimana cara kita membedakan kondisi kaki anak tersebut normal atau tidak? Kondisi seperti apa saja yang perlu segera dikonsultasikan ke dokter?
Seminar sehat yang dimoderatori oleh ortotis prostetis RSUI, Fakhri Rekha Utama, BPO diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat terhadap masalah kaki pada anak.
Pembicara pertama dr. Muhammad Deryl Ivansyah, Sp.OT menjelaskan bahwa kelainan kaki anak tidak hanya disebabkan oleh kelainan tulang, namun dapat juga disebabkan oleh kelainan otot, saraf, dan ligamen.
“Kelainan kaki pada anak banyak sekali, beberapa contoh kelainan kaki anak yang paling sering dikeluhkan orang tua, diantaranya kaki ceper (flat feet), kaki pengkor (CTEV/ clubfoot), kaki O (bow legs), dan kaki X (knock knees),” tutur spesialis orthopaedi dan traumatologi RSUI, dokter Derly.
Berikut beberapa penjelasan mengenai kondisi kelainan kaki anak diantaranya sebagi berikut:
(1) Kaki ceper pada anak usia dibawah 6 tahun masih tergolong dalam kondisi yang wajar karena ligamen anak lebih lentur dan banyaknya lemak di telapak kaki.
Namun jika sudah berusia 6 tahun, kondisi kakinya masih ceper, perlu dikonsultasikan ke dokter. Terlebih jika anak merasakan nyeri, aktivitasnya terbatas, dan hanya 1 kaki yang terlibat dalam aktivitas.
(2) Kondisi kaki pengkor, dokter Deryl mengatakan bahwa kondisi ini mudah dideteksi, bahkan saat anak masih dalam kandungan melalui USG diakhir trimester kedua kehamilan.
Dokter spesialis obstetri dan ginekologi biasanya akan menginfokan hal ini. Untuk tatalaksana kaki pengkor, metode ponseti menjadi salah satu solusi yang mudah dan murah.
Semakin dini dilakukan, semakin baik hasilnya. Angka keberhasilan metode ini dapat mencapai 95% jika dilakukan dengan benar, dan 70% kasus bahkan tidak perlu dilakukan operasi jika ditangani sebelum usia 5 bulan.
(3) Kondisi kaki O pada anak, dokter Deryl mengatakan bahwa kondisi ini masih dianggap normal sampai anak berusia 3 tahun.
Cara kita melihatnya yaitu dengan merapatkan mata kaki anak lalu dilihat bagian lututnya apakah jaraknya kurang dari 6 cm, jika iya maka masih dianggap normal.
Namun, jika jaraknya lebih dari 6 cm, adanya nyeri, serta anak berjalan pincang, maka harus segera dikonsultasikan ke dokter.
Untuk penanganan kaki O diantaranya dapat melalui metode observasi, pemasangan brace, atau operasi. Metode ini dipilih tergantung pada derajat keparahan dan kondisi medis lainnya.
(4) Kondisi kaki X, dokter Deryl mengatakan bahwa kondisi yang umum saat bayi lahir dengan kaki O kemudian setelah berusia 3 tahun, kaki agak sedikit ke dalam seperti bentuk X, dan saat berusia 8 tahun akan kembali normal.
Untuk memeriksa kondisi kaki X ini dapat dilakukan dengan merapatkan kedua lutut anak, jika jarak antara kedua mata kaki anak kurang dari 8 cm, maka masih dianggap normal.
Jika terdapat kelainan bentuk yang berat, terdapat nyeri, pincang, hanya 1 kaki yang terlibat saat beraktivitas segera konsultasikan ke dokter.
Di akhir penjelasannya, dokter Deryl memberikan pesan untuk mengenali tanda-tanda kelainan kaki yang bukan variasi normal, dan jangan ragu untuk berkonsultasi ke dokter untuk mendapatkan penanganan yang tepat.
Pembicara kedua dr. Amien Suharti, Sp.KFR menjelaskan bagaimana perkembangan kaki dan lutut anak, serta pola berjalan anak dalam beberapa tahapan usia.
Dengan mengetahui indikator ini, para orang tua dapat mengetahui apakah kondisi kaki anaknya saat ini masih tergolong normal atau tidak.
Perkembangan kaki anak saat lahir bentuk kaki sedikit calcaneo valgus dengan tidak ada lengkung, saat mulali berjalan lemak pada sisi medial menyembunyikan lengkung, 2-3 tahun mulai terbentuk lengkung kaki, 3,5 – 9 tahun masa akrusial perlu memastikan apakah ada kelainan patologis kaki ceper/flat foot, dan membedakan fleksible atau kaku/rigid.
“Pada umumnya anak berjalan saat usia 1 tahun dengan pola jalan lutut yang lebih lurus, langkah lebar, foot-plat. Saat usia 3,5 tahun pola berjalan anak akan berkembang seperti dewasa,” jelas dokter spesialis rehabilitasi medik RSUI, dr. Amien.
Kelainan pola jalan seperti pincang, intoeing kaki seperti masuk atau mengarah kedalam, toe out kaki mengarah keluar, dan jalan seperti jinjit.
Penanganan rehabilitasi medik pada anak dengan kelainan kaki memerlukan orthose pada beberapa kondisi.
“Di unit rehabilitasi medik terdapat pengukuran analisis pola berjalan untuk mengevaluasi adanya kelainan.
Untuk penanganan gangguan ini, pada beberapa kondisi tertentu dapat diperlukan alat orthose untuk mengontrol kesegarisan, memperbaiki fungsi dan melindungi kaki.
Untuk pemilihan orthose ini terdapat modifikasi yang disesuaikan dengan kondisi kaki anak” paparnya.
Beberapa jenis latihan di unit rehabilitasi medik yang diperuntukkan bagi anak dengan kelainan kaki, diantaranya latihan peregangan otot kaki seperti (manual calf stretch, wall stretch, towel/ long sit stretch) dan latihan kekuatan otot seperti (squat play, bicycle, playing ball, dll).
Dokter Amien juga memberikan rekomendasi dalam pemilihan sepatu anak, yang terdiri dari 3 (tiga) tahapan, yaitu a) pre walking shoe, dimana tidak memerlukan sepatu, b) toddler shoe, karena sudah banyak berjalan sehingga memerlukan sepatu yang nyaman dengan bahan kulit atau kanvas, c) school age, pilih sepatu yang memiliki peredam dan proteksi.
Banyak peserta yang mengajukan pertanyaan seputar tema yang tengah dibahas. Salah satu pertanyaan yang cukup menarik diantaranya terkait pemakaian bedong untuk anak yang baru lahir.
Kebanyakan masyarakat mempercayai bahwa bedong bermanfaat untuk meluruskan kaki anak, namun saat ini para ahli mengatakan bahwa bedong justru berbahaya.
“Permasalahan bedong ini bukan pada kaki, melainkan di panggul. Bedong dapat menyebabkan hip dysplasia atau panggul yang berubah bentuk, ini sangatlah berbahaya. Sejak tahun 90-an pemakaian bedong di Jepang sudah tidak diperbolehkan” jawab Dokter Deryl.
RSUI berharap kegiatan Seminar Awam Bicara Sehat Virtual ini dapat terus hadir sebagai salah satu upaya promotif dan preventif kepada masyarakat luas.
Untuk mendapatkan informasi terkait pelaksanaan seminar Bicara Sehat selanjutnya dapat dipantau melalui media sosial RSUI.