WartaDepok.com – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memastikan pengendalian perdagangan ikan hiu dan pari di Indonesia dilakukan. Pemanfaatan hiu dan pari tersebut diatur sehingga manfaat ekonominya optimal dan tetap lestari di alam.
Seperti diketahui hiu dan pari merupakan komoditas perikanan yang bernilai ekonomi tinggi yang menjadi isu global, karena fekunditas hiu rendah yang menyebabkan populasinya terancam. Keseriusan KKP mengatur tata kelola pemanfaatan ikan hiu menjadikan tidak ada celah bagi pelaku penyelundupan.
Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut (KKHL) Bapak Muh. Firdaus Agung Kunto Kurniawan mengatakan, ada tiga prinsip dasar yang digunakan KKP sebagai instrumen pengelolaan jenis ikan hiu dan pari, khususnya yang masuk dalam daftar CITES. Ketiganya adalah legalitas, keberlanjutan dan ketertelusuran.
“Penerapan ketiga prinsip dasar tata kelola tersebut terus dimonitor dan dievaluasi untuk dilakukan langkah-langkah perbaikan sehingga adanya keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan keberlanjutan sumberdaya di habitat alaminya,” kata Firdaus Agung.
Pertama, prinsip legalitas diterapkan melalui instrumen perizinan khusus berupa Surat Izin Pemanfaatan Jenis Ikan (SIPJI), dimana setiap orang yang akan melakukan kegiatan
pemanfaatan komersial hiu dan pari appendiks CITES wajib terlebih dahulu memiliki SIPJI.
Kedua, prinsip keberlanjutan diterapkan melalui pembatasan penangkapan dan ekspor melalui kuota. Kuota penangkapan ditetapkan setiap tahun oleh KKP berdasarkan rekomendasi ilmiah dari Otoritas Keilmuan (LIPI/BRIN). Penetapan kuota ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa tingkat pemanfaatan yang dilakukan tidak melebihi daya dukung sumberdaya.
Sedangkan ketiga prinsip ketertelusuran diimplementasikan melalui kewajiban pelaporan oleh pemanfaat dan kewajiban dokumen angkut sebagai persyaratan dalam melakukan pengangkutan hiu dan pari appendiks CITES di dalam negeri maupun ke luar negeri.
Lebih lanjut Firdaus mengungkapkan, perairan Indonesia memiliki keragaman hiu dan pari yang cukup tinggi. Berdasarkan beberapa literatur dan hasil penelitian, kata dia, di perairan Indonesia terdapat 117 spesies hiu dan 101 spesies pari.
“Hiu dan pari yang tidak boleh diperdagangkan adalah jenis hiu dan pari yang dilindungi secara penuh berdasarkan regulasi nasional. Terdiri atas satu spesies hiu yaitu Hiu Paus (Rhincodon typus) dan 10 spesies pari,” katanya.
Kesepuluh pari tersebut yaitu Pari manta oseanik (Manta birostris), Pari manta karang (Manta alfredi), Pari sungai tutul (Fluvitrygon oxyrhynchus), Pari sungai raksasa (Urogymnus popylepis), Pari sungai pinggir putih (Fluvitrygon signifer), Pari gergaji lancip (Anoxypristis cuspidata), Pari gergaji kerdil (Pristis clavata), Pari gergaji besar (Pristis pristis sinonim Pristis microdon), Pari gergaji hijau (Pristis zijsron), dan Pari kai (Urolophus
kainus).
“Hiu dan pari yang tidak dilindungi secara regulasi masih diperbolehkan untuk dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan ketiga prinsip tata kelola yaitu legalitas, keberlanjutan dan ketertelusuran,” ujarnya.
Firdaus membeberkan, nilai perdagangan hiu dan pari diperkirakan cukup signifikan mengingat harga jual sirip hiu di tingkat nelayan saja sekitar Rp 700 ribu per kilogram kering. Dari sisi PNBP, nilai penerimaan PNBP dari perdagangan luar negeri hiu sampai dengan November 2022 sekitar Rp 600 juta.
“Harapannya ke depan agar pemanfaatan hiu pari semakin terkelola dengan baik, nilai manfaat ekonomi dari kegiatan perdagangan tetap selaras dan sesuai dengan prinsip kelestarian populasinya di alam,” ujarnya.
Kepala Loka Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (LPSPL) Serang KKP Syarif Iwan Taruna Alkadrie juga menjelaskan bahwa tidak semua jenis hiu yang ada di Indonesia dilarang untuk ditangkap dan diperdagangkan. Dia menegaskan, pemerintah melalui KKP mengatur ketat pemanfaatan ikan hiu dan pari yang masuk apendiks II CITES untuk penetapan kuota ambil dan kuota ekspor di Indonesia.
“Ikan hiu ini diatur secara khusus, dia harus punya izin yang ketat yaitu Surat Izin Pemanfaatan Jenis Ikan. Untuk lalu lintasnya saja harus ada surat angkut, tidak seperti ikan lainnya. Kita mengaturnya sehingga manfaat ekonominya dapat dan keseimbangan alamnya tetap terjaga mengingat hiu adalah top predator,” kata Iwan Alkadrie.
Dia memastikan, aturan manfaatkan ikan hiu itu sangat terukur sekali dari mulai izin perdagangan dalam negeri dan luar negeri, kuota ambil dan kuota ekspor, izin kuota sampai dengan mengontrol terus ekosistem ikan dengan enumerasi dipendaratan ikan. Tidak hanya itu, yang mengawal aturan pemanfaatan hiu tidak hanya KKP tetapi juga Kemendag, Karantina ikan dan Bea Cukai.
Untuk jenis Hiu dan Pari yang tidak masuk Appendik 2 CITES atau dikategorikan Look Alike Species yaitu jenis-jenis ikan hiu dan pari yang mempunyai kemiripan dengan jenis yang dilindungi dan/atau termasuk dalam Appendiks CITES. Dalam pemanfaatan jenis Look Alike Species tidak diperlukan surat izin SIPJI dan dokumen yang dibutuhkan untuk melalulintaskan jenis Look Alike Species cukup dengan dokumen Rekomendasi.
“Yang mengamankan aturan ini tidak hanya KKP sendiri. Jadi aturan ini tegak diawasi berbagai pihak, memang pengawasan yang sangat ketat,” ujarnya.
Untuk mengaturnya, KKP telah menerbitkan sejumlah aturan, diantaranya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 61 Tahun 2019 jo Permen KP Nomor 44 Tahun 2019 tentang Pemanfaatan Jenis Ikan Yang Dilindungi dan/atau yang Masuk Dalam Appendiks CITES.
Permen KP Nomor 10 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Kelautan dan Perikanan dan Kepmen KP Nomor 54 tentang Nama Layanan Publik dan Produk Layanan Publik di Lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan
Dia menambahkan, tidak hanya aturan yang ketat, petugasnya di lapangan sudah dibekali dengan kemampuan identifikasi jenis ikan hiu dan pari.
Mereka mengikuti pelatihan terstandar agar memiliki kemampuan yang handal dalam melakukan identifikasi jenis produk hiu dan pari sebelum dilalulintaskan, sehingga produk hiu dan pari yang diperdagangkan telah sesuai dengan dokumen dan persyaratannya.
“Pengetahuan identifikasi tersebut penting untuk memastikan hiu dan pari yang diperdagangkan bukan jenis yang dilindungi dan sudah sesuai dengan mekanisme perdagangan yang diatur dalam CITES,” kata Iwan Taruna.*