WartaDepok.com – Pandemi COVID-19 tidak menjadikan alasan kita untuk beralih dari program kesehatan nasional, kita perlu memastikan berjalannya program pelayanan kesehatan termasuk penanggulangan Tuberkulosis (TB).
Pembatasan sosial dan protokol kesehatan saat Pandemi COVID-19 berdampak pada tantangan dan kesulitan dalam penanggulangan TB seperti, pemberian edukasi pencegahan TB secara langsung di masyarakat, pemantauan minum obat (PMO), dan kegiatan lainnya.
Maka dari itu, sangat dibutuhkan inovasi dalam pencegahan dan penanggulangan TB di Indonesia khususnya di era pandemi COVID-19.
Melalui penyelenggaraan Bicara Sehat ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat terhadap tuberkulosis dan menjadi sarana berbagi ide inovasi dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit tuberkulosis.
Narasumber pertama Dr. dr. I Wayan Gede Artawan Eka Putra, M.Epid menjelaskan inovasi-inovasi penelitian pencegahan tuberkulosis dapat diterapkan pada setiap perjalanan alamiah tubekulosis, tidak hanya pada tahapan pengobatan.
Beberapa contoh inovasi tersebut diantaranya bisa dilakukan dalam tahap mencegah pajanan, mencegah infeksi, deteksi dini, mencegah sakit TB, meningkatkan kesembuhan, pembatasan ketidakmampuan dan rehabilitasi, serta inovasi dalam hal pencatatan dan pelaporan.
“Ada beberapa langkah dalam membuat inovasi tersebut diantaranya, 1) identifikasi masalah, 2) penelitian dan pengembangan, 3) menyusun konsep inovasi, 4) penerapan, dan 5) evaluasi” ujar Sekretaris Jejaring Riset TB, Artawan.
Dalam pandemi COVID-19 ini terdapat beberapa tantangan dalam penanganan TB, diantaranya adanya pembatasan kegiatan di masyarakat yang berdampak negatif terhadap akses ke layanan kesehatan termasuk layanan tuberkulosis, sumber daya program TB yang terbagi untuk penanggulangan COVID-19 dan kemudian kekhawatir sebagian orang dianggap menderita COVID-19 dengan gejala gangguan napas dan infeksi jika diperiksa ke fasilitas kesehatan.
“Tantangan-tantangan ini menyebabkan terjadinya penurunan jumlah kasus TB yang ditemukan dan diobati (pada tahun 2020). Orang yang terpajan kuman TB tidak semuanya terinfeksi, yaitu hanya sebanyak 10-30% yang terinfeksi. Faktor yang memengaruhi terjadinya hal tersebut diantaranya yaitu faktor usia, status imunitas, status gizi, adanya penyakit (DM, HIV), serta perilaku seperti merokok dan minum alkohol” paparnya.
Dari jumlah yang terinfeksi tersebut 90% nya masuk ke dalam kategori TB laten dan sebanyak 10% nya merupakan kategori TB aktif.
TB aktif dapat berdampak menjadi lebih parah ataupun menuju kematian diakibatkan beberapa faktor seperti keterlambatan diagnosis dan pengobatan, ketidakpatuhan berobat, pengobatan tidak standar, dan kondisi kesehatan.
Untuk narasumber kedua dr. RR. Diah Handayani, Sp.P(K) menyampaikan masalah TB saat ini menjadi Neglected atau tercampakan akibat adanya pandemi COVID-19.
Padahal penanganan TB di Indonesia masih sangat jauh dari target. Di tahun 2020, Indonesia menempati peringkat kedua terbanyak kasus TB di dunia.
Hal ini sebenarnya tidak mengherankan karena upaya preventif TB di Indonesia hanya sebesar 12%. Inovasi-inovasi ide dan program pencegahan sangatlah bermanfaat dalam membantu menurunkan kasus TB di Indonesia, di samping inovasi dalam hal skrining, deteksi maupun pengobatan TB.
Menurut data WHO, 25% estimasi penduduk dunia terinfeksi TB, mereka tidak sakit tetapi bisa menjadi sakit. Setiap tahun 10 juta orang sakit dan 1.5 juta meninggal karena sakit TB. Sementara di Indonesia, diperkirakan 50% penduduknya terinfeksi TB, hampir 1 juta atau 1/10 angka TB di dunia. Oleh karena itu, tindakan pencegahan harus benar-benar digerakkan.
“Tindakan pencegahan dimulai dengan kegiatan mencari, harus ada active case finding atau “jemput bola”, terutama untuk orang-orang yang mengidap HIV, diabetes mellitus, atau yang tinggal di slum area. Orang-orang yang berisiko tersebut harus diberikan terapi pencegahan” jelas Diah, Dokter Spesialis Paru RSUI.
WHO menargetkan hingga tahun 2022 untuk dapat melakukan contact tracing tuberkulosis sebanyak 24 juta bagi orang-orang yang tinggal serumah dengan penderita TB, orang dengan HIV, diabetes melitus, atau yang tinggal di daerah kumuh padat penduduk.
Terdapat beberapa kelompok yang direkomendasikan oleh WHO untuk dapat dilakukan diagnosis dan tatalaksana TB laten, diantaranya: pasien dengan HIV/AIDS, pasien kontak dengan kasus TB aktif, pasien dengan pengobatan anti-TNFa, pasien yang menjalani hemodialysis, pasien yang menjalani transplantasi organ, pasien dengan silikosis, tuna wisma, warga binaan lapas, serta petugas kesehatan.
Antusiasme masyarakat cukup tinggi pada kegiatan kali ini, seminar ini juga dihadiri oleh finalis terbaik dari kompetisi RSUI Call for Idea. Kelima finalis juga mempresentasikan ide kreatifnya.
Fidkya Allisha mengusung ide “Cinta Pertama Tuberkulosis: Community-Integrated Application for Prevention, Treatment, and Management Monitoring of Tuberculosis”; 2) Tim Icha Tiara Devi dengan judul ide “Ed-Follow-Up TB Program”; 3) Tim Adam Maulana dengan judul ide “Deteksi Dini Tuberkulosis Menggunakan Stetoskop Digital dengan Bantuan Teknologi Artificial Intellegence”; 4) Tim Mery Puspita dengan judul ide “QRC-TB, Quick Response Code-TB, Aplikasi Integrasi sebagai Penanganan dan Optimalisasi Pencegahan Tuberkulosis di Era Pandemi COVID-19”; 5) Tim Syifa Nurhayati dengan judul ide “Computer-Aided Diagnosis untuk Deteksi Tuberkulosis Paru pada Citra X-Ray Dada: Solusi Anak Negeri dalam Eradikasi Tuberkulosis di Indonesia”.
Kelima finalis mendapat feedback positif dari para narasumber sebagai panelis. Para panelis berpesan hendaknya ide-ide tersebut nantinya dapat diimplementasikan dengan baik.