WartaDepok.com – Sebanyak 61 warga yang tinggal di area lahan RRI menolak diterbitkan pihak Pemerintah Kota Depok, Jawa Barat. Lahan tersebut akan dibangun gedung Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII).
Mereka meminta uang ganti rugi lahan lebih manusiawi yang diberikan oleh pemerintah . Pasalnya, saat ini pemberian uang ganti rugi oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama tidak manusiawi. Sedangkan, untuk Kantor Jasa Penilaian Publik (KJPP) hanya melakukan penghitungan dengan permeter sebesar Rp 8 ribu sampi dengan Rp 13500.
Kuasa hukum warga yang terkena dampak pembangunan Kampus UIII, Andi Tatang Supriyadi menyebutkan, pemberian ganti rugi
jauh dari harapan warga terdampak pembangunan UIII. Meski lahan tersebut milik negara, mereka sudah menempati belasan tahun. Totalnya ada 61 Kepala Keluarga (KK) atau rumah.
“Pada dasarnya masyarakat menerima, berkaitan pembanguna kampus UIII di area RRI. Hanya saja saat ini angkanya belum deal. Karena angka (uang ganti rugi) ini luar biasa tidak pantas diberikan kepada warga yang terdampak pada pembangunan UIII ini,” kata Tatang di Jalan Juanda kepada wartawan, Senin (2/9).
Tatang menyebutkan, pemberian ganti rugi yang diberikan pemerintah pusat itu bervariasi dari Rp 8 ribu sampai Rp 13500 permeternya.
Maka dari itu, warga meminta kepada Wali Kota Depok untuk menunda esekusi pengusuran rumah warga yang berdampak pada pembangunan UIII, karena ganti rugi yang diberikan tak sesuai atau belum deal.
“Kami berharap silakan dilakukan penertetiban, tapi hak warga dipenuhi terlebih dahulu, sebelum deal soal harga ganti rugi. Idealnya ganti rugi diberikan harus manusiawi,” kata Tatang.
Persoalan ini sambung Tatang pihaknya telah menyurati Presiden Joko Widodo terkait pemberian ganti rugi yang diberikan oleh KJPP dan meminta agar esekusi tidak dilakukan sebelum warga menerima haknya.
“Kita ajukan surat ke presiden terkait masalah ini. Dan meminta presiden turun ke sini. Kami juga meminta kepada Pemerintah Kota Depok agar tidak melakukan penertiban dulu sebelum warga menerima haknya. Ini kan hanya angka yang belum pas. Kita bisa negosiasi masalah harga,” jelasnya.
Ketua RT 01/ RW 14 Kelurahan Cisalak, Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok, Jawa Barat, Sarjana mengatakan, mereka menempati lahan tersebut atas dasar perintah lisan mantan Presiden BJ Habibie pada 1998. Saat itu, kata Sarjana, warga dipersilakan menemapti lahan kosong tersebut untuk memenuhi kebutuhan.
Sarjana mengakui tak memegang sertifikat atau pun surat-surat. Penggunaan atau pemanfaatan tanah ini, kata Sarjana, sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 32/1979 yakni Pasal 4 dan 5.
“Masyarakat di sekitar UIII ini resah dengan adanya instruksi Wakil Presiden untuk mempercepat proses pembangunan UIII. Sewaktu pertemuan beberapa waktu lalu di Hotel Bumi Wiyata, kami diberi tahu bahwa lahan yang dikuasai masyarakat takkan diganggu, tetapi nyatanya sekarang berbeda lagi. Ini yang membuat resah,” ujar Sarjana.
Sarjana juga menyayangkan pihak Kantor Jasa Penilaian Publik (KJPP) dinilainya jarang bertemu tetap muka langsung dengan warga. “Kami tak pernah bertemu dengan langsung. Tidak ada transparansi. Kemudian muncul begitu saja tentang uang santunan. Ini bagaimana?” keluh Sarjana.
Dikatakan, Presiden Joko Widodo pernah mengatakan akan memberikan konsensi. Untuk itu, warga telah mengirim surat kepada Presiden Jokowi.
“Kami menyurati presiden untuk hal ini. Kami tetap menuntut keadilan,” tegas Sarjana.
Sementara itu, Pemerintah Kota (Pemkot) Depok akan melakukan sosialisasi kepada warga di Kelurahan Cisalak, Sukmajaya. Sosialisasi tersebut terkait dengan kegiatan penertiban lahan untuk pembangunan UIII yang dilaksanakan pada akhir September 2019.
“Insyaallah, ini sudah masuk dalam tahap finalisasi yang sudah terukur berdasarkan SK Wali Kota Nomor 821.29/290/Kota/Pres/Huk/2019 tentang Tim Penertiban Lahan UIII,” tutur Wakil Wali Kota Depok, Pradi Supriatna di Balai Kota Depok, Senin (2/9/2019).
Pradi Supriatna menjelaskan, sosialisasi dilaksanakan mulai 30 Agustus-1 September 2019. Sosialisasi yang diberikan berupa pemberitahuan pengosongan.
“Sosialisasi pengosongan ini bisa berupa pemasangan spanduk, konsultasi dengan instansi terkait maupun melalui surat pemberitahuan yang akan dilakukan oleh Satgas penertiban dan pengamanan,” kata Pradi.
Lebih lanjut diungkap wakil wali kota, setelah tahap sosialisasi, akan diterbitkan Surat Peringatan (SP) 1 mulai tanggal 9-11 September. Dilanjutkan dengan SP 2 pada 12-18 September, dan SP 3 pada 19-21 September.
Kemudian, lanjutnya, 23 September akan dikeluarkan SP pengosongan. Sementara penertiban dilaksanakan pada 27-29 September.
“Kami berharap dalam proses penertiban tetap mengedepankan komunikasi dan diskusi, sehingga saat penertiban nanti dapat berjalan lancar,” tutur Pradi.