WartaDepok.com – Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit infeksi coronavirus jenis baru yang belum pernah di-identifikasi sebelumnya pada manusia.
Virus penyebab COVID-19 ini dinamakan SARS-CoV-2. World Health Organization (WHO) menetapkan pandemi COVID-19 sebagai Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Yang Meresahkan Dunia atau Public Health Emergency of International Concern (KKMMD/PHEIC).
Sampai dengan 3 Maret 2020, tercatat 90.870 kasus konfimasi COVID-19 di 72 negara dengan 3.112 kematian (CFR 3,4%). Diantara ribuan kasus tersebut, terdapat sejumlah tenaga medis dan kesehatan yang dilaporkan turut terinfeksi COVID-19.
Upaya untuk mempersiapkan tenaga dan fasilitas kesehatan di era pandemi COVID-19 sangatlah krusial.
Kementerian Kesehatan RI telah menunjuk rumah sakit rujukan COVID-19 di beberapa provinsi dan laboratorium untuk pemeriksaan COVID-19, namun persiapan di rumah sakit yang bukan rujukan serta fasilitas pelayanan kesehatan primer juga perlu diperhatikan karena dari fasilitas-fasilitas kesehatan inilah terduga penderita COVID-19 dapat terjaring.
Kemampuan mengenali, merujuk, menatalaksana, serta kemampuan mengendalikan infeksi perlu dipastikan apakah sudah benar-benar matang dan dapat menjamin setiap kasus COVID-19 dapat ditangani dengan tepat dan aman di setiap fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia.
Melihat situasi di Indonesia, tidak semua fasilitas pelayanan kesehatan memiliki peralatan dan sumberdaya yang lengkap maupun memadai untuk menangani COVID-19, misalnya dari segi alat pelindung diri (APD), ventilator, maupun ketersediaan tenaga medis dan kesehatan.
Pandemi COVID-19 telah membawa beban yang besar terhadap kapasitas pelayanan kesehatan di berbagai negara yang terbilang maju.
Di Indonesia, keterbatasan fasilitas kesehatan sudah tentu menjadi persoalan utama terlebih di era pandemi COVID-19.
Menilik isu tersebut, Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI) mengadakan kegiatan webinar komprehensif dengan tema Hospital Preparedness COVID-19.
Kegiatan yang telah dilakukan selama lima hari, 22-26 Juni 2020 secara virtual (daring) ini tidak dikenakan biaya dan ditujukan untuk seluruh tenaga medis dan tenaga kesehatan di Indonesia sebagai bentuk pengabadian masyarakat.
Kegiatan ini terwujud oleh kerja sama dengan Fakultas Kedokteran UI dan didukung oleh Direktorat Riset dan Pengembangan Medik RSUI.
Ketua pelaksana kegiatan webinar Hospital Preparedness COVID-19, dr. Raden Rara Diah Handayani, Sp.P(K) mengutarakan, “Tujuan dari kegiatan ini sebenarnya selain ingin memberikan pengetahuan terkait tata laksana rumah sakit, juga untuk mengetahui tingkat pengetahuan tenaga kesehatan dan mengetahui tingkat kesiapan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada di masing-masing rumah sakit sehingga diharapkan dapat mengevaluasi sejauh mana pelayanan kesehatan di Indonesia telah memenuhi standar WHO dan Kementerian Kesehatan RI.”
Selain memperoleh edukasi, setiap peserta webinar mengisi survei dalam bentuk pre-test dan post-test untuk mengetahui lebih dalam terkait kesiapan dalam penanganan COVID-19 di fasilitas pelayanan kesehatan masing-masing.
Dari hasil survei tersebut, didapat fakta bahwa lebih dari 50% nilai pre-test peserta kurang dari 60. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan tenaga medis dan tenaga kesehatan terhadap penanganan COVID-19 masih kurang.
Kegiatan webinar dibagi menjadi lima kelompok materi yang dibagikan dalam lima hari berbeda, yaitu mengenai diagnosis, alur pelayanan COVID-19, manajemen klinis, kesiapsiagaan RS dalam menghadapi pandemi COVID-19, dan terapi pendukung serta evaluasi pasca-perawatan COVID-19.
Sekitar 1.659 peserta dari Sabang sampai Merauke mengikuti kegiatan tersebut.
Terdapat 21 orang narasumber dokter dan perawat yang ahli di bidangnya yang berbagi wawasan dan pengalaman mereka dalam webinar Hospital Preparedness COVID-19 RSUI.
Kecurigaan apakah seseorang COVID-19 atau non-COVID-19 dilihat dari ada tidaknya gejala penyakit saluran napas, dan ada tidaknya kontak erat dengan pasien COVID-19 atau memiliki pekerjaan yang berisiko besar tertular COVID-19.
Bila seseorang dengan gejala penyakit saluran napas akan berobat di suatu fasilitas layanan kesehatan (fasyankes), ia akan melalui triase terlebih dahulu.
Triase merupakan upaya penentuan prioritas penanganan pasien berdasarkan tingkat kegawatan kondisinya ketika datang. Kondisi pasien diwakili dengan warna: hijau untuk kondisi ringan dan tidak membutuhkan penanganan segera, kuning untuk kondisi sedang, dan merah untuk kondisi berat atau mengancam nyawa dan perlu diprioritaskan untuk ditangani lebih dulu.
Untuk itu, triase dilakukan dengan cepat menggunakan kriteria yang telah disepakati di setiap fasilitas kesehatan.
Menghadapi era normal baru (new normal), kewaspadaan selama pandemi COVID-19 tetap harus dipertahankan.
Pengunjung fasilitas kesehatan dengan gejala penyakit saluran napas harus diperiksa secara terpisah dengan pasien lain di ruangan yang berbeda berventilasi baik.
Ruang triase tidak boleh terlalu penuh sehingga keluarga pasien diharapkan dapat menunggu di luar area triase. Jarak tunggu antar pengunjung fasilitas kesehatan juga harus dipertahankan setidaknya 1 meter.
Mengenai terapi COVID-19, sejauh ini belum ada obat yang secara spesifik terbukti mampu menekan replikasi (perkembangbiakan) SARS-COV-2 dan mampu memberikan kesembuhan pada pasien COVID-19.
Meski menurut penelitian di sel uji (in vitro) klorokuin menunjukkan kemampuan menghambat perkembangan virus SARS-COV-2, namun pada penggunaannya langsung di pasien COVID-19, klorokuin menunjukkan manfaat yang tidak signifikan dan cenderung membawa efek samping yang nilainya lebih berat. Hidroksiklorokuin yang relatif lebih aman juga tidak menunjukkan hasil yang bermakna untuk penyembuhan pasien COVID-19 sejauh ini.
Penelitian mengenai terapi yang paling efektif untuk COVID-19 masih terus berlanjut di dunia, baik untuk klorokuin maupun obat-obatan antivirus yang sudah ada.
Infeksi SARS-COV-2 adalah penyakit yang utamanya menyerang sistem pernapasan dan paru, namun komplikasinya dapat berdampak pada sistem tubuh lain, terlebih bagi pasien COVID-19 yang memiliki riwayat mengalami gejala berat.
Komplikasi diantaranya berupa kerusakan jaringan paru permanen (fibrosis paru), gangguan jantung, dan gangguan pembekuan darah.
Pasien COVID-19 dalam perawatan juga rentan mengalami gangguan psikologis. Selain pasien, tenaga kesehatan yang merawat pun turut dapat mengalami gangguan psikologis.
Beban tanggung jawab profesi, kelelahan, kekhawatirkan tertular dan menularkan, serta kebutuhan akan rasa aman menghantui petugas medis dan kesehatan terutama yang berkontak langsung menangani pasien terkonfirmasi COVID-19.
Pasien COVID-19 dalam masa perawatannya juga seringkali diserang rasa kesepian dan bosan, persepsi negatif terhadap penyakitnya, dan beban jiwa menghadapi ketidakpastian lama perawatan, serta konflik perasaan antara rindu keluarga dan takut bila nantinya menurlarkan bila harus pulang.
Pasien COVID-19 dengan gangguan jiwa bukan halangan untuk tidak dilakukan perawatan terhadap kondisinya.
Konsultasi dengan dokter dan tenaga kesehatan lain dapat dilakukan secara jarak jauh dengan telepon atau video (telepsikiatri), kecuali ada suatu kondisi mendesak yang mengharuskan dokter untuk datang langsung dengan mengenakan APD lengkap.
Petugas kesehatan juga sebaiknya diwajibkan untuk menjalani skrining depresi dan kecemasan, serta disediakan layanan psikoterapi khusus bagi petugas medis dan kesehatan yang nmengalami gangguan psikologis terkait COVID-19.
Pasca-keluar dari perawatan COVID-19, mantan penderita dihimbau untuk tetap waspada akan kondisinya dan rutin knotrol sesuai arahan dokter terutama bila masih ada keluhan saat pulang.
Evaluasi pasca-perawatan COVID-19 terutama bertujuan untuk memantau kondisi paru-paru pasien, dimana sebelumnya telah dipaparkan bahwa infeksi SARS-COV-2 dapat menyebabkan kerusakan jaringan paru jangka panjang.
Menurut panduan dari British Thoracic Society, kontrol atau follow-up dilakukan oleh petugas medis setidaknya selama 4-6 minggu setelah pulang rawat secara jarak jauh (telemedicine), dan pada minggu ke-12 pulang rawat, pasien dihimbau bertemu dengan dokter secara langsung – bila kondisi memungkinkan – untuk benar-benar memastikan apakah pasien membaik atau mengalami perburukan.
Pasien COVID-19 yang telah perbaikan juga dihimbau untuk melatih fisiknya dengan ngerkan tertentu untuk mengoptimalkan fungsi paru dan kemampuan melakukan aktivitas sehari-hari.
Tidur terngkurap merupakan alternatif posisi tidur yang dianjurkan untuk memperbaiki fungsi pertukaran udara di paru-paru pada pasien COVID-19 perbaikan.
Sebagai rumah sakit yang berbasis di Depok, Jawa Barat, dalam webinar ini turut diundang drg. Novarita selaku Kepala Dinas Kesehatan Depok untuk berbagi penjelasan mengenai alur pelayanan fasyankes selama pandemi COVID-19 di Depok.
Sebanyak sembilan rumah sakit dipersiapkan sebagai RS rujukan COVID-19.
Sistem rujukan dari rumah sakit maupun puskesmas dan satgas COVID-19 menggunakan Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) ke RS rujukan COVID-19.
Per 24 Juni 2020, angka replikasi virus (R0) di Kota Depok telah mencapai 1,18 dari sebelumnya 3,35 pada 17 Maret 2020.
Di sisi RS dan fasyankes primer lainnya, pandemi COVID-19 menyebabkan pembiayaan membengkak untuk menyuplai alat pelindung diri (APD) dan fasilitas kesehatan pendukung lainnya.
Selain itu, risiko kesakitan terhadap tenaga kesehatan juga meningkat.
Kapasitas pelayanan kesehatan terutama bagi masyarakat umum terancam menurun saat tenaga medis dan tenaga kesehatan harus berhenti sementara maupun permanen akibat infeksi COVID-19.
Penguatan sistem imun merupakan modal utama untuk melindungi diri dari terserang COVID-19 bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan sehingga bagi tenaga kesehatan dianjurkan untuk meningtkatkan asupannya ke 10% lebih tinggi dari angka kebutuhan gizi (AKG 2019) biasanya.
Manajemen RS maupun fasyankes lainnya harus dengan baik memprioritaskan pelayanan utama dan pelayanan pendukung yang dapat mereka berikan, menyusun SOP yang tepat dan jelas bagi semua staf, dan mengatur hak serta kewajiban sumberdaya yang ada sesuai dengan analisis beban kerja masing-masing.
Selain mengenai diagnosis hingga pengobatan dan kontrol, dalam webinar ini juiga dipaparkan kembali mengenai tatacara pemulasaraan jenazah terkait kasus COVID-19. Pelayanan jenazah bagaimanapun harus sesuai memenuhi kewaspadaan standar dengan mengenakan APD lengkap dan mengikuti protokol yang telah disepakati.
Hal ini tidaklah menutup kemungkinan untuk menghormati kepercayaan serta adat istiadat dan budaya dari jenazah dan keluarganya.
Hasil survei akhir yaitu post-test menunjukkan bahwa peserta dengan nilai <60 menurun menjadi 41% dengan nilai rata-rata adalah 60 (rerata nilai pre-test 51).
Hal ini menunjukkan adanya dampak positif dari pemberian materi selama webinar terhadap tingkat pengetahuan peserta webinar Hospital Preparedness COVID-19 RSUI.
Ke depannya, RSUI berharap ilmu dan pengalaman yang telah dibagikan dapat bermanfaat dalam upaya penanggulangan COVID-19 di fasyankes masing-masing.
Selain itu, RSUI juga berharap untuk dapat terus berkontribusi memberikan pelayanan dan edukasi yang terbaik tidak hanya untuk masyarakat namun juga bagi sesama tenaga medis dan tenaga kesehatan di Indonesia.