WartaDepok.com – Kasus cidera paru akibat rokok elektrik atau belakangan diketahui dengan sebutan EVALI (E-cigarette or Vaping Product Use Associated Lung Injury), mulai mendapat perhatian dari pemerintah Indonesia.
Bahkan, Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), DR. dr. Agus Dwi Susanto Sp.P(K), menegaskan bahwa EVALI juga dapat menyerang para pengguna rokok elektronik di Indonesia. Meskipun, selama ini kasus EVALI lebih banyak ditemukan di Amerika Serikat.
“Evali itu terjadinya suatu kerusakan yang akut pada jaringan paru yang timbul akibat menghisap rokok elektronik atau vaping. Kita tahu sendiri, prevalensi pengguna rokok elektronik di Indonesia semakin meningkat,” tegas dr. Agus Dwi Susanto saat ditemui Okezone.
“Jadi bila ditanya apakah kasus ini bisa terjadi di negara kita, jawabannya mungkin,” tambah dia.
Lebih lanjut, Agus menjelaskan, terjadinya Evali itu akibat proses induksi komponen yang terpadat pada cairan rokok elektronik. Setidaknya ada 3 komponen yang dicurigai dapat memicu cedera paru tersebut yakni, THC (Tetrahidrokanabinol) yang disinyalir merupakan senyawa dari zat utama ganja, vitamin E, dan juga minyak.
Hanya saja, di Indonesia cairan atau liquid yang mengandung THC memang diketahui belum dijual secara bebas. Namun, kombinasi antara vitamin E dan minyak inilah yang diklaim dapat memicu terjadinya Evali.
Menurut laporan CDC (Centers for Disease Control and Prevention), Evali bisa ditandai dari sejumlah gejala. Mulai dari kesulitan bernapas hingga gagal napas. Gejala ini muncul akibat proses induksi yang dipicu penggunaan rokok elektronik sebelumnya.
Dalam arti lain, sang pasien memiliki riwayat rokok elektronik. Gejala selanjutnya terbilang unik, karena tidak ditandai adanya infeksi. Itulah yang menyebabkan kasus Evali di Amerika Serikat mencapai ratusan, dengan sekitar 50 orang korban meninggal dunia.
“Sekarang kita butuh warning ini untuk menginformasikan kepada masyarakat, masa kita harus tunggu dulu sampai ada korban. Karena secara teori sudah jelas kandungan dan risikonya,” katanya.
“Selain itu, yang harus menjadi perhatian masyarakat bahwa dampak dari rokok elektronik selain evali, sudah banyak bermunculan di Indonesia. Misalnya peningkatan terjadinya asma hingga gejala-gejala ISPA yang semuanya sudah dijelaskan oleh jurnal-jurnal internasional,” ungkap Agus.
Sementara kaitan antara rokok elektronik dengan penyakit kanker sendiri masih dalam penelitian lebih lanjut. Namun, sejumlah penelitian berhasil membuktikan bahwa tikus yang terpapar kandungan rokok elektronik memiliki risiko kanker lebih tinggi.
“Vaping itu kan baru 6 tahun boomingnya. Jadi memang harus ada penelitian lagi, karena rokok konvesional sendiri butuh waktu sekitar 15 tahun untuk menginduksi jadi kanker,” tandasnya.