WartaDepok.com – Psikolog Universitas Pancasila (UP) Aully Grashinta menilai, dalam kasus tawuran antar suporter bola itu tidak banyak dilakukan oleh salah satu pendukung. Peristiwa itu terjadi akibat ulah oknum provokator.
Tapi oknum provokator ini biasanya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi kerumunan (crowd) sehingga anggota crowd terdorong untuk mendukung provokator.
“Disebut crowd karena biasanya tidak saling mengenal, berkumpul di suatu tempat untuk tujuan tertentu semisal nonton bola, nonton konser, nunggu angkutan umum, pasar dan lainnya,” katanya.
Dalam crowd tersebut, hubungan antar pribadi tidak dekat seperti pada kelompok.
Dalam crowd tersebut, sang provokator ini melakukan tindakan anarkis biasanya karena memang berupaya mencari perhatian dan merasa puas setelah melakukan kegiatan agresif tanpa punya tujuan baik tertentu.
“Jika dilihat lebih jauh pasti pribadi yang tidak punya prestasi dalam hidupnya, tidak punya ‘outlet’ untuk menunjukkan siapa dirinya, mungkin pengangguran dan jelas pendidikan rendah. Pendidikan di sini bukan pendidikan formal tetapi pendidikan karakternya,” ungkapnya.
Saat berada dalam crowd, sulit untk bisa menentukan siapa yang datang dari kelompok tertentu. Karenanya pendidikan secara lebih umum jauh lebih diperlukan daripada pendekatan hanya pada supporter club tertentu.
Dia melihat, dalam hal ini pemerintah atau pemilik klub sepakbola bertanggungjawab penuh untuk ‘mendidik’ suporternya.
Namun hal itu diakui sulit karena sifat heterogen dalam crowd tersebut yang biasanya datang dari berbagai karakter. Dengan kondisi yang demikian maka menjadi sulit sekali untuk bisa merubah karena itu merupakan hasil pendidikan sedari kecil.
“Dimana terbiasa dengan pengrusakan. Terbiasa untuk ‘marah’ jika apa yang diinginkan tidak tercapai. Terbiasa menggunakan agresifitas untuk ‘menyelesaikan masalah’ yang dihadapinya,” paparnya.
Akibat peristiwa tawuran pasca pertandingan makan makna dari olahraga yaitu menjunjung sportifitas menjadi hilang. Padahal itulah kunci utama dari pertandingan – utamanya olahraga. “Toh tidak ada 2 pemenang sekaligus dalam suatu pertandingan olahraga kan,” ucapnya.
Oleh karenanya sangat penting ditanamkan dalam jiwa seseorang mengenai pemahaman akan makna sportifitas, karakter berani menang-berani kalah, menghormati pemenang, dan sebagainya perlu diajakarkan sejak dini.
Pelajaran di sekolah harus dibuat agar anak mampu belajar arti supportif, belajar menyampaikan emosi marah, kecewa dan lainnya dengan cara yang lebih bisa diterima, belajar menghargai kelebihan orang lain.
“Ini adalah pendidikan karaker yang mengarah pada segi afektif, bukan kognitif (ukuran lapangan bola, hukum penalti) bukan juga psikomotor (latihan menendang, latihan menyundul dll) tapi memahami makna pertandingan dan beradaptasi dengan baik pada kekalahan,” jelasnya.
Yang bisa dilakukan secara nyata adalah membuka komunikasi dengan ‘bos’ kelompok suporter. Kemudian diberikan pemahaman yang baik terhadap mereka sehingga para ‘bos’ dalam kelompok bisa menjadi influencer/acuan oleh suporter.
“Beri mereka kewenangan tapi dengan aturan yang ketat. Diajak bicara dan diskusi dengan dewasa. Diberi kepercayaan. Dengan demikian suporter abal-abal/kaleng-kaleng nggak didengar suaranya. Termasuk diberi insentif, misalnya bonus jika mereka bisa menjaga ‘anak buah’nya,” beber dia.
“Biasanya mereka masih pada tataran kebutuhan dasar. Harus ada tokoh panutan supporter dari tiap klub. Dia akan lebih mudah mempengaruhi massanya,” pungkasnya. (wan/WD)