Oleh: Suryansyah*
PERIBAHASA ini jelas kurang enak didengar. Habis manis sepah dibuang. Artinya kurang lebih: setelah tidak dibutuhkan lagi, di-kuyo-kuyo, dikorbankan, dipinggirkan, dst. Bahasa kerennya playing victim.
Begitulah nasib Sidik Mulyono. Dia Kapala Diskominfo Kota Depok. Semua tahu Sidik dekat dengan Depok 1 (Walikota). Pria berpostur tinggi besar ini boleh dibilang corong dari Walikota Mohammad Idris. Bawahan yang tak bisa menolak perintah atasan. Loyalitasnya tak diragukan. Dedikasinya tinggi.
Sidik acap pasang badan jika Depok 1 dalam ‘serangan’ atau kritikan. Pengorbanan, tenaga dan pikiran dicurahkan. Sidik bukan pecundang. Dia bekerja dengan hati nurani. Demi kota Depok tercinta.
Tanpa perjuangannya, mungkin ruang wartawan di Baleka, Depok, tidak akan ada hari ini. Sidik bersama Wakil Walikota Depok Pradi Supriatna, juga berperan dalam rapid test 100 wartawan di RS Bunda Margonda, April lalu.
Tahun lalu, Sidik mendapat penghargaan Gerakan Menuju 100 Smart City. Walikota Mohammad Idris sendiri yang memberinya. Visinya mendorong pemerintah daerah meningkatkan pelayanan masyarakat dengan memanfaatkan teknologi. Sidik melibatkan seluruh unsur masyarakat terkait dengan Tata Kolola (Smart Governance), Smart Living, Smart Economic, Smart Society, dan Smart Brading.
Sidik telah membawa perubahan signifikan. Program-program Depok lebih transparansi. Dia sosok yang melayani lebih pro aktif. Tanpa bertele-tele. Sepatutnya dia mendapat apresiasi. Sidik adalah salah satu kepala dinas terbaik di Kota Depok.
Belakangan berita seputar dirinya ramai. Di tengah pandemi virus corona, berita Sidik jadi pembeda. Ada yang bertepuk tangan dirinya disingkirkan. Tidak sedikit yang memberikan dukungan moral.
Saya secara pribadi tak dekat dengan Sidik. Tapi sedikitnya saya kenal beliau. Dia banyak membantu saya dalam informasi soal penanganan dan bantuan korban Covid-19. Responnya sangat cepat.
Dulu, diawal menjabat sebagai kepala
Diskominfo, ia sempat dinilai arogan. Banyak pihak yang berseberangan. Tapi, itu semata karena tugasnya menjalankan perintah atasan.
Sidik tegas bukan keras. Kinerjanya jempolan. Dia terpilih sebagai Kadis Terbaik 2019 versi Depok Media Center (DMC). Tapi, sekarang dia dijauhi oleh Mohammad Idris. Habis manis sepah dibuang.
Sidik dipulangkan ke instansi induknya Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Jakarta. Tugasnya menurut Walikota Mohammad Idris, sebagai titipan akan berakhir terhitung 22 Mei 2020. Walaupun sejatinya menurut aturan, tidak ada lagi istilah titipan maupun dipekerjakan. Intinya, Sidik tidak lagi sebagai Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama Kepala Diskominfo Kota Depok.
Menariknya Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Depok, Hardiono, tidak tahu menahu soal surat pemulangan Sidik. Hardiono menilai keputusan itu tidak bijaksana dan bentuk kesewenangan atau abuse of power Mohammad Idris.
Sidik jebolan SMAN 1 Jakarta tahun 1985. Dia kuliah S1 dan S2 di Faculty of science and technology Nihon University Tokyo, Jepang jurusan mechanical engineering, dengan mendapat beasiswa BJ Habibie (Overseas Fellowship Program). Kemudian melanjutkan studi S3 di Faculty of Computer Science di UI Depok.
Secara titel, jelas dia orang yang pas di kursi Kepala Diskominfo. Tapi faktor like and dislike membuatnya tersingkir. Sidik dipaksa untuk angkat koper.
“Surat yang dikeluarkan Pemkot Depok tidak melalui mekanisme yang sesuai dengan ketentuan. Saya tidak pernah diajak diskusi sebelumnya,” kata Sidik.
Saya tidak ingin terjebak dalam konfliks. Saya tidak punya kepentingan. Tapi saya tergelitik untuk menguliknya. Saya teringat cerita pewayangan Subali dan Sugriwa.
Kekisruhan saudara kakak beradik, Kapi Subali dan Kapi Sugriwa, bermula karena kesalahpahaman terhadap sebuah pesan.
Pesan Subali kepada adiknya itu disampaikan sebelum ia bertarung dengan penguasa gua Kiskenda Kebo Sura dan Lembu Sura. Isi pesannya adalah jika aliran sungai yang keluar dari Gua Kiskenda berwarna merah, dirinya (Subali) yang memenangi pertarungan.
Sebaliknya, jika airnya berwarna putih, dirinya yang kalah dan ia meminta Sugriwa segera menutup Gua Kiskenda dengan batu yang besar.
Kemudian terjadi pertempuran. Subali menang dengan membenturkan dua kepala raksasa itu. Yang keluar cairan otaknya berwarna putih. Sugriwa lalu menutup goa dan menikahi istri kakaknya.
Tapi Subali kemudian keluar goa dan mengatakan Sugriwa sebagai pengkhianat. Padahal bukan, tapi keadaan yang membuat dia melakukan itu. Akhirnya Subali dan Sugriwa berperang. Subali mati dipanah Rama yang membela Sugriwa.
Saya menganalogikan Subali dengan Mohammad Idris (Walkot Depok) dan Sugriwa (Sidik), sedangkan Rama orang ketiga yang berada di balik kekisruhan.
Jadi pesan dari kisah tersebut adalah Walikota jangan sampai salah mengorbankan orang apalagi teman dekat (Sidik). Karena dia sebenarnya setia.
Jangan habis manis sepah dibuang.
*Sekjen Siwo PWI Pusat