Opini

Normal Baru Hidup ‘Tidak Normal’

144
×

Normal Baru Hidup ‘Tidak Normal’

Sebarkan artikel ini
Suryanyusyah, Sekjen Siwo PWI Pusat

Oleh: Suryansyah

Suami: Kamu nggak pakai masker?
Istri: Pakai dong, jilbab sekarang praktis, ada maskernya
Suami: Oh begitu…
Istri: Gaul makanya
Suami: Kirain lupa

Cuplikan dialog di atas bukan fiksi. Bukan imajinasi. Tapi real adanya. Masker telah menjadi fashion.

Kaum hawa tidak perlu ribet lagi cari masker untuk menyesuaikan dengan pakaian hijabnya. Kini masker sebagai salah satu normal baru. Tatanan kehidupan baru. Terutama buat mereka yang muslimah.

Masker jadi tren baru sejak covid-19. Salah satu alat pelindung diri atau APD. Selain sanitizer untuk cuci tangan. Pelbagai inovasi masker kain dibuat. Ada yang bermotif lucu. Masker pernak-pernik cantik.

Masker kain yang anjurkan WHO. Dapat menghalau sebagian percikan air liur yang keluar saat berbicara, menghela napas, ataupun batuk dan bersin.

Tiga bulan lalu masyarakat sulit cari masker. Banyak oknum yang menimbun. Harganya pun selangit kalau ada. Satu pack antara Rp 400-600 ribu. Masyarakat menjerit.

Sekarang, tidak lagi. Banyak pedagang masker dadakan di sudut jalan. Harganya sangat terjangkau. Modelnya pun beragam.

Masker scuba yang paling modis. Belakangan sangat populer. Harganya relatif murah. Juga dinilai nyaman. Bisa melar alias stretch mengikuti bentuk wajah.

Terlepas jadi fashion, masker sebagai normal baru. Saya tak persoalkan fashionnya. Itu bentuk kreativitas seseorang. Desainer asal Prancis Marine Serre, misalnya. Dia meluncurkan koleksi masker mewah dan terbuat dari rajutan.

Terpenting masker jadi aspek ‘hidup berdamai’ dengan corona. Lebih dalam lagi menyambut new normal atau normal baru. Tapi masyarakat masih banyak yang gagal paham. Asumsinya: new normal adalah kehidupan kembali normal. Corona telah berlalu.

Padahal pernyataan Presiden Joko Widodo jelas. Beliau mengajak kita hidup ‘berdampingan’ dengan virus corona. Dalam KBBI, berdampingan adalah 1. berdekatan, berhampiran, 2. bersama-sama (ada, hidup).

Artinya: virus corona masih ada. Sayangnya frasa itu tidak dijelaskan detailnya. Jokowi seperti kekeringan narasi. Masyarakat awam jadi bingung. Penafsirannya beragam.

Menurut saya new normal adalah normal baru yang ‘tidak normal’. Kenapa? Karena kita hidup berdampingan dengan virus corona. Kemana-mana ada corona. Kita harus pakai masker, bawa sanitizer, tisu basah, jaga jarak dengan yang lain serta hal-hal yang tidak lazim lainnya.

Jadi kita tetap harus waspada. Tidak bisa seenaknya. Tidak dapat melakukan aktivitas bebas. Tapi, hidup dengan protokol kesehatan yang ditetapkan pemerintah. Konsisten dan penuh kedisiplinan. Supaya tidak terjadi lonjakan kasus di kemudian hari.

Itu yang coba saya tangkap dari ajakan presiden soal “berdamai” dengan corona. Kita harus tetap pakai masker, physical distancing dan mencuci tangan dengan sanitizer. Karena virus corona menyerang imunitas tubuh. Sama halnya dengan virus HIV.

Para peneliti di Shanghai dan New York menyatakan Covid-19 dapat menyerang sistem kekebalan manusia. Bisa menyebabkan kerusakan yang serupa dengan yang ditemukan pada pasien HIV.

Dulu virus HIV sangat ditakutkan. Namun dalam perjalananya berlalu dengan sendiri. Meski virus itu tak pernah hilang dari bumi. Tergantung bagaimana kita menjaga diri. Sampai saat ini masih terus dikembangkan vaksinnya. Sama dengan covid-19 belum ada vaksinnya.

Intinya: antara virus corona dan HIV sekilas dilihat memiliki banyak kesamaan. Benar, bertransmisi berbeda, direplika berbeda, dan menyebabkan penyakit secara berbeda.

Jadi konsekuensi dari new normal tergantung pada diri kita sendiri. Kebiasaan buruk harus dibuang. Hindari kongkow-kongkow yang tidak perlu. Jangan berkerumum dan berdesakan. Sabar, belajar antre. Belajar hidup tertib, bersih, dan sehat.

Kita ambil sisi positifnya. Berdamai bukan berarti menyerah. Apalagi kalah dengan virus. Tidak perlu khawatir berlebihan. Anak sekarang bilang lebay. Itu malah bikin imun tubuh lemah. Life goes on.

Dari kecil kita selalu diajarakan orang tua untuk hidup bersih dan sehat. Sebelum tidur, cuci tangan dan kaki dengan sabun. Bangun tidur bersih-bersih kamar. Lalu mandi. Sebelum makan cuci tangan. Sebelum masuk rumah, cuci kaki dan cuci muka dengan sabun.

Hanya saja kebiasaan itu mungkin telah dilupakan. Orang tidur masih pakai sepatu. Kamar mandi ada di ruang kamar tidur. Jadi semua serba dibalik. Mungkin karena perkembangan zaman.

Maka new normal sebenarnya kebiasaan lama. Norma ‘jadul’ yang kini disusun ulang. Ibarat musik di-aransemen. Saya menganggapnya new normal kehidupan yang ‘tidak normal’ karena terjadi di tengah pandemi Covid-19.*

*Sekjen Siwo PWI Pusat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *