Oleh: Suryansyah*
WartaDepok.com – Kursi itu masih cukup kuat. Baru empat tahun lebih diduduki. Bukan terbuat dari kayu jati. Pun bukan dari besi. Tapi dengan hati nurani.
Pradi Supriatna-tak mau duduk berlama-lama sebagai wakil walikota. Bang Pradi- begitu sapaannya- ingin bergeser ke kursi Depok I. Secara terbuka Pradi sudah menyampaikannya ke publik.
“Kami datang bersilaturahmi. Sekaligus mohon izin dan doa restu dari para orangtua dan sahabat. In Saah Allah saya akan maju di Pilkada Depok, bukan sebagai wakil lagi, tapi calon walikota,” kata Pradi saat bertamu ke pengurus NU maupun Muhammadiya Kota Depok.
Bukan… Pradi bukan tak setia dengan pendampingingnya saat ini Mohammad Idris. Pradi respek dengan Idris yang ‘menyuntingnya’ 5 tahun lalu lewat Pilkada.
Tapi, Pradi merasa ada beban moril sebagai warga Depok untuk membangun tanah kelahirannya.
Namun bukan rahasia, simpul ‘rumah tangga politik’ Idris-Pradi yang dijodohkan PKS dan Gerindra pada 20I5 itu, mulai retak.
Bisik-bisik dengan tetangga terdengar cukup kencang. Idris sembunyikan sesuatu dari Pradi.
Pradi merasa tak pernah dilibatkan diskusi soal rumah tangga politik. Tapi Pradi tahu isi obrolan suami politiknya. Dia pasang kuping dan mata di mana-mana.
Ya, politik memang dinamis. Bisa berubah setiap saat. Kawan bisa menjadi lawan. Sebaliknya lawan berbelok sebagai kawan.
Benar banyak yang bilang: tak ada teman abadi di politik. Yang ada kepentingan pribadi.
Secara harfiah politik merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dengan sebuah kepentingan.
Pradi merasa punya kepentingan. Yakni membangun Depok menjadi kota yang modern dan berbudaya.
Sepertinya Pradi dan Gerindra merasa tidak diperlakukan adil sebagai pasangan Idris yang diusung PKS.
Boleh diduga, selama ini Idris-Pradi kurang komunikatif. Kurang saling mengisi dan melengkapi, kurang mesra sebagai suami- istri politik.
Sejauh ini Pradi mengaku Gerindra dan PDIP sudah di jalan tol. Tinggal tancap gas. Segala perangkat kebutuhan menuju kursi D-1 telah disiapkan.
Disadari butuh dukungan masayarakat untuk mewujudkan impiannya.
Tapi, apakah semua sudah didasari hati nurani?
Hmmm…simpan dulu jawaban Anda. Masih terlalu pagi untuk mengambil kesimpulan.
Ya inti politik memang kekuasaan. Tapi Kekuasaan demi mewujudkan kesejahteraan rakyat banyak. Bukan untuk kekuasaan itu sendiri.
Jangan peralat rakyat. Jangan cekoki janji-janji selangit. Ketika kampanye, pelaku politik bersikap lembut. Selembut gadis yang dipingit.
Ketika butuh suara dukungan rajin bertamu. Dalihnya silaturahim. Menjemput aspirasi rakyat.
Begitu jadi, jangan harap bicara akar rumput. Lupa semua! Janji tinggal janji. Rakyat hanya gigit jari.
Kepentingan pribadi menguap lebih kuat. Kepentingan rakyat dibiarkan berkarat. Wajar muncul asumsi: Politik jahat. Politik itu kotor. Rakyat cuma diperalat.
Jhon F Kennedy, mantan Presiden Amerika Serikat, secara terbuka pernah berujar: politik itu kotor, puisilah yang membersihkannya. Apa yang diungkapkan Kennedy itu mestinya jadi perhatian kita semua.
Betapa politik memerlukan hati nurani yang dilambangkan dengan puisi.
Asas politik yang kotor – menurut perspektif Kennedy – karena targetnya hanyalah menang atau mempertahankan. Sementara asas kesusastraan adalah menyuarakan humanisme universal.
Dua kutub yang berbeda ini harus duduk berdampingan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga terbangun cakrawala politik yang berhati nurani.
Politik sejatinya adalah mencari kebijakan dalam kehidupan. Roh politik harus berangkat dari hati. Bukan basa basi. Sedangkan hati untuk politik ditiupkan dengan nurani.
Maka, politik sejati adalah politik hati nurani. Dalam KBBI nurani berarti: 1. perasaan hati yang murni yang sedalam-dalamnya; 2. lubuk hari yang paling dalam.
Dengan kata lain hati nurani adalah suatu proses kognitif yang menghasilkan perasaan dan pengaitan secara rasional berdasarkan pandangan moral atau sistem nilai seseorang.
Hati nurani berbeda dengan emosi atau pikiran yang muncul akibat persepsi indrawi atau refleks secara langsung.
Misalnya tanggapan sistem saraf simpatis. Berarti pelaku dunia politik harus mengedepankan kejujuran demi kebenaran. Bukan mencari pembenaran.
Saya mencoba mengetuk hati politisi. Mengajak untuk kembali ke hati nurani. Berpolitiklah dengan hati nurani.
Menempatkan hati nurani sebagai nilai inti (core value). Bukan sekadar mengejar kekuasaan atau kepentingan pribadi sesaat.
Hati nurani adalah kesadaran moral yang tumbuh di dalam hati manusia dan memengaruhi tingkah laku seseorang.
Hati nurani erat kaitannya dengan kesadaran diri; kesadaran untuk membedakan antara tindakan yang benar dan salah.
“Hati nurani saya terpanggil untuk rakyat. Apapun buat kota Depok saya siap berkorban,” kata Pradi Supriatna saat bincang calon walikota Depok dengan wartawan.
Benarkah? Silakan Anda menilai!*
*Sekjen Siwo PWI Pusat