Oleh: Suryansyah
WartaDepok.com – SAYA tak ikut ke Senayan. Situasi tidak memungkinkan. Massa sudah turun ke jalan. Saya bersama teman-teman sekantor rapatkan barisan. Bikin pagar betis.
“Jangan, ini rumah Iwan Fals,” teriak salah seorang massa.
Saya tak bilang mereka massa Iwan Fals. Musisi itu bukan politisi. Tak tertarik berpolitik. Tapi dia punya penggemar fanatik. Dari berbagai lapisan masyarakat.
Iwan Fals ketika itu sering berkunjung ke kantor kami di Fatmawati 21, Jakarta Selatan. Sekadar nyanyi, ngupi, canda gurau selepas deadline. Tak ada obrolan politik.
Kebetulan senior saya bersahabat dengan Iwan Fals sejak di kampus IISIP Jakarta. Tiap Rabu, Iwan Fals tak pernah absen bermain bola dengan kami. Di lapangan Simpruk.
Mungkin karena itu, massa mengira kantor tabloid Gema Olahraga (GO) sebagai rumah Iwan Fals. Tempat saya bekerja pun terbebas dari penjarahan massa.
Ketika itu, Mei 1998, Jakarta chaos. Massa menjarah berjamaah. Terutama toko-tokoh non-pribumi. Keadaan benar-benar karut marut. Tak bisa dikendalikan. Setiap sudut dipenuhi massa. Aksi itu meluas hingga ke beberapa daerah.
Di satu sisi, gelombang mahasiswa makin besar. Mereka menduduki gedung DPR/MPR RI di Senayan. Mereka menuntut Presiden Soeharto lengser setelah 32 tahun berkuasa.
Salah satu aktivitis mahasiswa yang menonjol saat itu bernama: Rama Pratama.
Rama di barisan depan pasukan Jaket Kuning. Dia Ketua Senat Mahasiswa Universitas Indonesia. Rama yang membawa draf reformasi ke Ketua DPR/MPR Harmoko.
Sebanyak 10.000 mahasiswa jaket kuning menegaskan Ultimatum Salemba.
Sepenggal kalimat yang saya ingat ketika Rama berorasi di Kampus UI Salemba sebelum bergerak ke Senayan. Kebetulan saat itu, saya baru pulang kursus bahasa Prancis di Pusat Kebudayaan Prancis. Persis di seberang Kampus UI Salemba.
“Rekan-rekan Salemba, pada akhirnya Salemba bergerak. Kita harus berani memperjuangkan kebenaran di tengah pemerintahan yang dzalim,” kata Rama.
Pemikiran Rama yang kritis terbilang gemilang. Lantang suaranya. Aksinya didukung oleh rakyat. Rama mengancam rakyat akan bergerak bila Sidang Umum Istimewa MPR jalan terus untuk melegitimasi status quo dan tidak memihak agenda reformasi.
Tidak heran Rama menjadi salah satu aktivis gerakan mahasiswa yang di belakangnya terkait dengan partai politik zaman orde lama (Partai Sosialis Indonesia) yang mencuat pada tahun 1998.
Sejurus setelah Soeharto lengser, Rama menghilang tertelan bumi. Dia sempat mendapat teror. Gerak geriknya dalam pantauan intelijen. Termasuk keluarganya. Tempat tinggalnya.
Dua puluh dua tahun berlalu. Baliho raksasa terbentang di Kota Depok. Saya masih ingat wajahnya. Rama deklarasikan untuk maju pada Pilkada Depok 2020. Rama membawa konsep megapolitan yang terintegrasi dengan DKI Jakarta dan tetangganya.
Depok harus disegarkan. Infrastruktur transportasi, gedung sekolah, ruang terbuka hijau, perlindungan situ, sampai kawasan usaha swasta sangat perlu dimodernkan.
“Bila saya yang memimpin Depok, saya punya konsep dan program membangun Kota Depok yang inklusif. Untuk semua kalangan dan para disabilitas nyaman beraktivitas,” ujar Rama Pratama.
Manuver Rama jadi perbincangan. Dia mendadak jadi ‘selebritis’ baru di Kota Depok. Tembang lagu yang dibawakannya: Perubahan Depok. Dia membawa seperangkat konsep yang ditawarkan.
“Perubahan selalu lahir dari tangan anak-anak muda. Kami, generasi muda sudah terbiasa bekerja di luar kebiasaan dan bertindak mendobrak kebuntuan,” kata Rama.
Rama dikenal sebagai pendobrak ketidaklaziman. Dia piawai menjual gagasan. Pemikiran-pemikiran dan ide-ide Rama cukup cemerlang. Dia pun dilirik oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada 1999.
Jadi dia cukup paham mesin politik PKS bergerak. Rama juga tahu bagaimana cara meredamnya. Kontan, Rama digadang bisa jadi ‘kuda hitam’. Bisa meruntuhkan kekuasaan PKS di Depok.
Apalagi Depok diklaim butuh perubahan. Butuh penyegaran kepemimpinan. Selama PKS berkuasa tidak ada perubahan signifikan. Tidak ada tanda-tanda kemajuan pembangunan.
Calon Walikota Depok Pradi Supriatna mengakui. Bukan petahana yang ditakuti. Tapi Rama Pratama.
“Kalau petahana semua orang tahu plus-minusnya. Tapi, Rama sosok anak muda yang brilian. Dia bisa jadi kuda hitam. Ini yang saya takutkan jika Rama maju pada kontentansi Pilkada Depok 2020,” kata Pradi.
Pradi berduet dengan Afifah. Mereka diusung partai PDIP Perjuangan dan Gerindra. Meski baru surat resmi dari DPP PDIP yang digenggam.
Sedangkan petahana Mohammad Idris berpasangan dengan Imam Budi Hartono. Keduanya diusung PKS dan koalisi Tertata (PPP, Demokrat, PAN). Khusus PAN kabarnya bisa terpecah. Karena Rama mengklaim mendapat restu dari DPP.
Rama memang belum pernah menyentuh Depok. Tapi Rama sempat menjadi anggota DPR RI periode 2004-2009. Selepas dari Senayan, dia menjadi anggota Badan Supervisi Bank Indonesia (2010-2013), dan Tenaga Ahli BPK (2014-2019).
Ayah 3 anak ini juga juru bicara bidang ekonomi TKN Jokowi-Ma’ruf pada Pilpres lalu. Meski dibully- sebagai ‘cebong’, dia tetap tegar dalam mengusung konsep ekonomi Ma’rufnomic untuk melawan hegemoni Sandinomic.
Rama memang tidak/belum mendapat rekomendasi dari DPC partai yang bermarkas Depok. Tapi politik itu dinamis. Dia bukan orang baru di politik. Rama cukup cerdas bermanuver. Dia langsung gerilya ke pusat. Rama berpikir jika mengantongi rekomendasi dari pusat, maka DPC akan manut.
Masih ada waktu sekitar 2 minggu sebelum pendaftaran bakal calon walikota/wakil walikota Depok dibuka pada 4-6 September. Kini, Rama berpacu dengan waktu. Dia terus menjalin komunikasi politik dengan berbagai partai.
Sejauh ini Rama mendapat rekomendasi dari DPP Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Total baru 5 kursi. PAN 4 dan PSI 1.
Butuh 5 kursi lagi dari sarat minimal dukungan 10 kursi. Apakah Rama mampu membujuk Golkar (5 kursi) untuk membuat poros tengah?
Politik itu dinamis. Semua bisa berubah. Rama bisa saja menggergaji Koalisi Tertata yang merekomendasi petahana.
Mantan BEM UI ini bertekad menumbangkan hegemoni PKS di Depok yang telah berkuasa selama tiga periode. Caranya dengan membangun koalisi besar. Selama 32 tahun dia mengamatinya.
Dia ingin warga Depok bangga akan kotanya. Seperti Surabaya dengan Risma yang tegas. Bandung dengan Ridwan Kamil-nya yang visioner ketika jadi walikota.
“Saya cukup lama jadi kader PKS. Saya tahu strategi untuk menghentikan hegemoni PKS di Kota Depok. Jadi, saya siap memimpin Kota Depok,” tegasnya.
Saya tentu bangga jika Depok menjadi kota modern. Saya tunggu sosok yang dapat mewujudkannya. Bukan umbar janji. Rakyat sudah cerdas memilah.
Mungkinkah Rama mengulang sejarah ketika dia meruntuhkan kekuasaan Soeharto pada 1998? Tergantung seberapa kuat kereta politiknya. Pun hebat programnya.
Mari kita tunggu aksinya.
*Sekjen Siwo PWI Pusat
Analisis Indonesian Politic and Policy Institute (IPPI)