WartaDepok.com – Serangan AS yang menewaskan Jendral Iran Qassam Solemani berlanjut dengan serangan Iran ke pangkalan militer AS di Irak. Pihak Iran mengklaim berhasil menewaskan 80 orang, sedangkan pihak AS mengklaim tidak ada yang tewas dalam serangan balasan Iran.
Trump sendiri dalam keterangan persnya menerangkan tidak akan membalas Iran dengan kekuatan militer. Trump mengedepankan sanksi ekonomi dan dagang yang akan mempersulit Iran.
Dalam keterangannya Jumat (10/1), pakar keamanan siber Pratama Persadha menjelaskan bahwa saat ini sedang terjadi cyberwarfare antara kedua negara, yang kemungkinan besar diikuti oleh negara-negara lain maupun kelompok-kelompok tertentu.
Negara bagian Texas misalanya, dilaporkan menerima serangan siber lebih dari 10 ribu kali sejak 6 Januari 2020. Website Program Penyimpan Federal (The Federal Depository Library Program) diserang dengan mengubah tampilan situs menjadi ada bendera Iran, foto Pemimpin Tertinggi Iran Ali Khamenei dan gambar wajah Donald Trump dengan mulut berdarah karena ditinju oleh Pengawal Revolusi Iran.
“Dalam sejarah pertikaian Iran, AS dan Israel memang selalu melibatkan saling retas, saling serang sistem. Yang paling terkenal adalah serangan stuxnet dari Israel yang menargetkan sistem nuklir Iran,” jelas chairman Lembaga Riset Siber Indonesia CISSReC (Communication & Information System Security Research Center) ini.
Ditambahkan Pratama, secara umum serangan dilakukan dengan cara melakukan deface ke website yang dimiliki pemerintah, agar masyarakat dunia melihat. Artinya ancaman serangan siber tidak hanya harus diwaspadai oleh instansi negara, namun juga perusahaan besar, bahkan akun media sosial para tokoh.
Disaat yang sama, dipastikan perang juga terjadi di media sosial. Untuk wilayah ini, jelas AS diuntungkan karena platform Facebook, instagram, Twitter dan Youtube semuanya dibawah regulasi perundang-undangan yang berlaku di AS.
“Foreign Surveillance Act mewajibkan raksasa teknologi di AS untuk memberikan backdoor dan privillage untuk lembaga pemerintah seperti FBI, NSA, CIA, DEA, kepolisian dan militer. Artinya konten yang membantu propaganda Iran akan sangat mudah di hapus dan akun-akun mudah disuspend,” terang pria asal Cepu Jawa Tengah ini.
Indonesia sendiri pasti terdampak, baik secara ekonomi maupun hubungan diplomatik. Seperti yang disampaikan Ibu Menlu, Indonesia meminta semua pihak menahan diri dan meminta PBB segera turun tangan menengahi. Namun memang tidak bisa dipungkiri pastinya ada pihak ditanah air yang ikut terbawa panasnya suasana.
Ditambahkan Pratama, yang perlu dilakukan masyarakat adalah menghindari pemakaian VPN (virtual private network) menggunakan negara-negara yang sedang berkonflik beserta sekutunya. VPN digunakan untuk mengelabui blokir internet maupun untuk mengamankan jalur komunikasi, masyarakat sempat ramai memakai VPN saat medsos dibatasi oleh Kominfo pada pertengahan 2019.
“Kenapa tidak disarankan menggunakan IP negara berkonflik, hal ini untuk menghindari adanya serangan malware ke IP negara yang sedang berkonflik. Serangan malware massif bisa saja terjadi seperti saat wannacry dan nopetya hadir di pertengahan 2017,” jelasnya.
Dampak yang mungkin akan terasa di tanah air lantara lain perang opini di media sosial. Namun mengingat syiah bukan mayoritas muslim di tanah air, isu oleh buzzer belum massif sejauh ini. Isu di media sosial banyak bersumber dari media massa mainstream.
“Peristiwa ini juga menjadi pelajaran bahwa dalam situasi seamanan apapun, para pejabat tinggi dan pengawalnya harus melaksanakan protap keamanan. Seperti misalnya tidak menyalakan GPS di smartphone dan juga wajib berkomunikasi lewat jalur yang aman. Serangan kepada Jendral Qassam Solemani bisa terjadi salah satunya karena pengintaian lewat jalur komunikasi, internet dan juga info lapangan yang akurat,” tegas Pratama.
*Chairman Lembaga Riset Siber Indonesia CISSReC